Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Wanita Berhati Putih

29 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 29 Januari 2019   05:59 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan yang mengguyur deras sore itu tak menyurutkan semangat mereka. Keempat anggota keluarga Assegaf tiba di studio tepat pukul setengah enam. On time, kesan pertama yang sangat baik.

Produser senior menyambut hangat mereka di lobi. Siapa bilang ini hanya acara untuk Arlita? Tidak, ketiga anggota keluarga lainnya pun menjadi sorotan. Keluarga Assegaf dikenal sebagai keluarga baik, terpandang, religius, dan inspiratif.

"Inspiratif katamu?" Tuan Effendi melempar remote TV ke meja.

"Papa tidak mau menonton program itu!"

Setelah melontarkan kata penolakan, Tuan Effendi bergegas pergi. Dibantingnya pintu keluarga hingga menutup. Calvin menatap masygul punggung Papanya. Ia menyesal, menyesali perubahan drastis sang Papa. Ya, Allah, jangan kikis rasa cinta dengan kebencian.

Benci? Tidak juga. Adica tidak membenci publisitas dalam keluarga. Sejak dulu, waktu masih jadi anak Michael Wirawan, publikasi keluarga bukan hal baru. Produser senior membawa mereka ke backstage. Touch up sejenak, natural saja. Tanpa riasan pun, keluarga Assegaf tetaplah tampan dan cantik.

Setelah touch up, mereka brieffing. Kesibukan mulai terdengar di barisan bangku audience. Nampak seorang kru mengarahkan audience. Audience diminta mematikan gadget, bertepuk tangan paling keras, dan mengikuti acara dengan penuh semangat.

"Ok, on position. Lima...empat...tiga...dua...satu. Camera rolling...action!"

Lagu pembuka jingle talk show inspiratif itu mengalun merdu. Host berjalan masuk ke panggung, diikuti Abi Assegaf dan Arlita. Adica dan Syifa berjalan bertautan tangan, terpisah dari host dan orang tua mereka. Ratusan pasang mata tertuju pada mereka. Mengagumi kewibawaan Abi Assegaf, keanggunan Arlita, ketampanan Adica, dan kecantikan Syifa.

Sampai di tengah panggung besar itu, Adica memulai permainan biolanya. Sebuah lagu ia bawakan sepenuh jiwa. Satu-dua kli ia tatap Abi Assegaf, Syifa, dan Arlita dengan penuh cinta. Tentu eye contact dengan audience tak terlupakan.

"Effendi, lupakan sejenak konflikmu dengan Pak Assegaf. Lihat pesona anak kita." Nyonya Rose lembut membujuk.

Tuan Effendi luluh di bawah bujukan dan tatapan memohon istrinya. Ia mengalah, berjalan balik ke ruang keluarga, dan duduk rapi menyaksikan performa Adica dengan biolanya.


Kali ini kusadari

Aku telah jatuh cinta

Dari hatiku terdalam

Sungguh aku jatuh cinta padamu

Cintaku bukanlah cinta biasa

Jika kamu yang memiliki

Dan kamu yang temaniku

Seumur hidupku (Afgan-Bukan Cinta Biasa).

Adica bermain biola, Syifa bernyanyi. Kolaborasi apik dua permata hati Zaki Assegaf. Bahagianya Abi Assegaf memiliki anak-anak berbakat.

Applause memenuhi studio. Tak sedikit penonton yang berdiri memberi standing ovation. Di rumah mewah lereng bukit, Calvin dan Nyonya Rose berdiri. Lalu keduanya bertepuk tangan. Hanya Tuan Effendi yang tetap duduk, wajahnya beku tanpa ekspresi.

Abi Assegaf punya cara untuk mengekspresikan kebanggaannya. Ia tak lepaskan tatapan dari dua permata hatinya. Begitu mereka selesai membawakan lagu, Abi Assegaf memeluk mereka bergantian.

Arlita speechless. Dalam hati ia berjanji akan selalu menyayangi anak-anak itu. Selain Abi Assegaf, merekalah hartanya yang paling berharga. Janji Arlita pada dirinya sendiri. Ia akan menjaga, mencintai, dan mendampingi Adica dan Syifa hingga waktunya berakhir.

**    

"Bukan cinta biasa...seperti cinta keluarga Assegaf. Mereka saling mencintai, menguatkan, memahami, dan melengkapi. Begitulah sebenar-benarnya cinta. Kasih dan cinta pun mereka tebarkan pada banyak orang di sekitar mereka. Ingin tahu seperti apa keluarga hebat ini? Tetap di...Story of Love and Inspiration."

Berbicara di depan umum, sesuatu yang sangat biasa untuk keluarga Assegaf. Dua di antara mereka broadcaster andalan. Satunya pemilik butik yang dulunya model dan penyiar. Satu lagi putri kampus yang telah menjadi bintang sejak kecil.

Hampir tiap bulan ada saja acara-acara on air dan off air yang mereka isi. Disorot kamera sudah biasa. Diangkat profil dan kehidupannya tak aneh lagi. Tak ada lagi kata demam panggung, grogi, atau nervous dalam kamus hidup mereka.

Kadar kepercayaan diri mereka proporsional. Tidak limited, tidak pula overload. Walau tampil percaya diri, mereka berempat tetap elegan.

Secara formalitas, Arlitalah yang diundang menjadi bintang tamu. Namun, ketiga orang yang paling dicintainya ikut terlibat. Semua atas permintaan sang nyonya cantik berhati putih.

"Nyonya cantik berhati putih..." Calvin merangkul hangat Mamanya.

"Bukan hanya Ummi Arlita, tapi juga Mama."

"Terima kasih, Sayang."

Kali ini, Tuan Effendi setuju. Ada banyak wanita berhati putih di dunia. Dan ia bahagia memiliki salah satu di antaranya.

"Di antara sekian banyak kejadian, mana yang paling buat Anda down saat harus merawat Abi Assegaf?"

Mendengar itu, Arlita terenyak. Seperti tak ada pertanyaan lain saja. Politik kotor media televisi: menggali-gali air mata, mengeksplor kesedihan sebagai barang jualan publik.

"Saat saya terlalu sibuk. Assegaf sakit dan saya malah sibuk dengan urusan butik. Rasa bersalah yang membuat mental saya jatuh." Arlita menjawab serak, suaranya bergetar.

Tidakkah ia salah dengar? Syifa menoleh cepat ke arah Umminya. Arlita bercerita sambil menangis.

Sementara itu, Abi Assegaf menggenggam tangan istrinya. Dikuatkannya Arlita tanpa kata. Bayangan sesal tercermin di mata wanita jelita itu.

"Oh...so sad. Kenapa Anda menyesal?" cecar host itu belum puas.

"Rasanya waktu saya masih kurang untuk Assegaf. Suami saya adalah prioritas, tapi saya justru mengurusi butik. Assegaf butuh saya. Ironisnya, saya tak ada di sisinya."

"Ok. Nah, bagaimana dengan Abi Assegaf? Apa yang membuat Anda kuat menjalani ujian ini?"

"Bagi saya, kanker adalah anugerah. Kanker bukan ujian yang harus ditakuti. Semua pemberian Allah dalam hidup saya, harus saya syukuri. Belum tentu semua orang merasakan apa yang saya rasakan. Kuncinya hanyalah kesyukuran." jawab Abi Assegaf, lembut dan berwibawa.

Bergetar hati seisi studio mendengarnya. Kanker adalah anugerah, kata-kata yang membekas dalam di pikiran mereka. Banyak orang mengeluh atas penyakit yang dideritanya. Pemikiran untuk berdamai dengan penyakit dan memandangnya positif sangat langka.

"Saya kuat karena didampingi dua permata hati dan wanita berhati putih ini."

Tanpa diduga, Abi Assegaf memeluk dan mencium Arlita. Lalu ia beralih merengkuh Adica dan Syifa. Audience bertepuk tangan. Presenter menahan keharuan.

"Ah, aku tahu. Wanita berhati putih sepertimu akan mudah terharu melihat tontonan kesedihan seperti ini, Rose." Tuan Effendi berkataa sarkastik.

Calvin menatap tanpa kedip sosok semampai Adica yang kini berada dalam pelukan Abi Assegaf. Wajah tampannya memancarkan keikhlasan. Ikhlaskanlah, ikhlaskanlah yang dicintai menemukan jalan bahagianya sendiri.

"Aku tidak merasa sendiri. Aku kan punya Abi, Ummi, dan Adica." Syifa melempar senyum cantiknya. Rileks sekali saat tiba gilirannya diwawancara.

"Syifa, kamu kan putri kampus nih. Model, duta mahasiswa, mantan presenter cilik, bintang iklan, pokoknya berprestasi dan multitallent gitu ya. Pernah nggak, ada teman-teman kamu yang bully keluarga kamu trus kamu marah dan semacamnya?"

"Pernah. Nggak tahu kenapa, hasil PET scan Abi tersebar. Banyak yang menghina Abi. Aku jelas nggak suka dong. Aku buktiin ke mereka kalau Abiku masih tetap Abi yang hebat...saat sakit sekalipun."

"Wow. Kompak sekali ya, keluarga Assegaf."

Kompak? Tuan Effendi kembali menebarkan sinisme. Keluarga Assegaf memang kompak. Kompak merebut anak lain, kompak memisahkan anak dari ayah kandungnya.

"Abi Assegaf sudah kuanggap seperti ayahku sendiri." kata Adica tulus, tulus sekali.

Ditatap begitu oleh anak lelakinya, hati Abi Assegaf menghangat. Kehadiran Adica benar-benar melengkapi hidupnya. Istri yang cantik, kehidupan mewah, karier cemerlang, putri cantik, dan putra yang tampan. Apa lagi yang kurang?

"Yang kurang adalah...Papa tidak ikhlas melepaskan Adica. Memangnya Papa tidak lelah terus-menerus menumpuk dendam?" tanya Calvin sehalus mungkin.

Tidak, Arlita belum letih dalam usianya. Ia merasa lebih dari mampu merawat Abi Assegaf dan mencintai kedua anaknya. Wanita berhati putih itu tak mengenal kata lelah. Jangan samakan Arlita Maria Anastasia Assegaf dengan istri Nabi Ayyub yang meninggalkannya di kala sakit parah.

"Baik, tanpa terasa kita hampir tiba di penghujung acara. Terakhir buat Arlita. Ada motivasi buat sesama istri surviver kanker? Coba Arlita beri support untuk mereka..."

Begitu, selalu saja begitu. Akhir dari program talk show seperti ini adalah selipan motivasi. Arlita menatap wajah-wajah di sekelilingnya, lalu berujar lembut penuh kekuatan.

"Jangan menyerah, jangan menyalahkan keadaan, tetap cintai pasangan kalian seperti pertama kali kalian jatuh cinta padanya. Jika kalian bisa mencintai dirinya saat sehat, seharusnya kalian pun bisa mencintainya ketika ia sakit. Salah satu esensi mencintai adalah cinta di kala sehat dan sakit."

Motivasi luar biasa dari wanita berhati putih. Tepuk tangan bergemuruh. Tepuk tangan yang tulus, lahir dari hati.

Benar apa kata Abi Assegaf. Tak ada ruginya menerima undangan mengisi acara talk show inspiratif. Bukan menjual kesedihan, hanya memberi percikan inspirasi. Kehadiran mereka akan menolong banyak hati yang krisis.

Usai acara, Abi Assegaf memeluk Arlita untuk kali kedua. Ia berikan French kissnya tanpa ragu. Momen mesra ciuman Abi Assegaf untuk Arlita sempat terekam kamera.

Ciuman seorang suami yang sangat bangga pada istrinya. Ciuman pria lembut dan berwibawa untuk wanita berhati putih.

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun