"Terima kasih, Sayang."
Kali ini, Tuan Effendi setuju. Ada banyak wanita berhati putih di dunia. Dan ia bahagia memiliki salah satu di antaranya.
"Di antara sekian banyak kejadian, mana yang paling buat Anda down saat harus merawat Abi Assegaf?"
Mendengar itu, Arlita terenyak. Seperti tak ada pertanyaan lain saja. Politik kotor media televisi: menggali-gali air mata, mengeksplor kesedihan sebagai barang jualan publik.
"Saat saya terlalu sibuk. Assegaf sakit dan saya malah sibuk dengan urusan butik. Rasa bersalah yang membuat mental saya jatuh." Arlita menjawab serak, suaranya bergetar.
Tidakkah ia salah dengar? Syifa menoleh cepat ke arah Umminya. Arlita bercerita sambil menangis.
Sementara itu, Abi Assegaf menggenggam tangan istrinya. Dikuatkannya Arlita tanpa kata. Bayangan sesal tercermin di mata wanita jelita itu.
"Oh...so sad. Kenapa Anda menyesal?" cecar host itu belum puas.
"Rasanya waktu saya masih kurang untuk Assegaf. Suami saya adalah prioritas, tapi saya justru mengurusi butik. Assegaf butuh saya. Ironisnya, saya tak ada di sisinya."
"Ok. Nah, bagaimana dengan Abi Assegaf? Apa yang membuat Anda kuat menjalani ujian ini?"
"Bagi saya, kanker adalah anugerah. Kanker bukan ujian yang harus ditakuti. Semua pemberian Allah dalam hidup saya, harus saya syukuri. Belum tentu semua orang merasakan apa yang saya rasakan. Kuncinya hanyalah kesyukuran." jawab Abi Assegaf, lembut dan berwibawa.