"Sebaiknya Anda kembali ke dalam. Mendengarkan ceramah keagamaan jauh lebih baik."
Kamila menggeleng. Perempuan ini tidak sereligius kawan-kawannya. Dengan posesif, Syifa melingkarkan lengan di lengan Abinya. Tak membiarkan sesiapa merebut posisi senyaman itu.
"Saya suka dengan sikap Anda tadi." Kamila berbicara tanpa ditanya.
"Anda menyambut orang-orang yang berbeda keyakinan dengan hangat dan terbuka. Anda lembut sekali pada kami. Seorang pemandu acara ruang agama Islam memperlakukan pengisi acara ruang agama Buddha dengan penuh kasih."
Entah pujian, entah ada maksud lain. Syifa tersenyum meremehkan. Abinya memang begitu pada semua pengisi acara ruang agama-agama lain. Jangan ragukan kelembutan dan kasih sayang Abi Assegaf.
"Terima kasih pujiannya. Benar Anda tidak ingin masuk ke kotak siaran? Dengarlah, mereka mulai membaca Paritta." bujuk Abi Assegaf, lembut dan sabar.
Tetap saja Kamila enggan kembali ke kotak siaran. Syifa memutar otak, mencari cara menjauhkan Abi Assegaf dari perempuan pemantik api cemburu ini. Mengajak Abinya ke cafe/resto, tak mungkin. Durasi siaran Abi Assegaf masih berlangsung hingga pukul sebelas.
"Zaki..."
"Kamila, saya akan ceritakan pada istri saya kalau kita bertemu di sini."
Cukup satu kalimat saja. Kamila mati langkah. Secara implisit, Abi Assegaf memintanya berhenti. Ada rambu peringatan tak kasat mata. Ekspresi dan gesture Abi Assegaf terlihat bahagia saat menyebut-nyebut istri. Menegaskan dia sangat mencintai Arlita. Membiaskan bila ia telah bahagia bersama satu wanita, mustahil wanita lain bisa masuk.
Kamila menggigit bibirnya. Senyuman Syifa kembali merekah. Dirogohnya tas. Begitu iPhone tergenggam di tangan, langsung saja ia video call dengan Arlita.