Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Berlaksa Kasih Sayang, Belajar Melepaskan, dan Mozaik Salib

25 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 25 Januari 2019   06:21 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dokter Tian..."

"Pak Assegaf..."

Dua pria tampan beda etnis itu berpelukan erat. Jas putih bertemu jas hitam. Melayu-Bangka bertemu Arab. Dokter bertemu pengusaha. Pegiat medis bertemu pecinta broadcasting. Pria yang kehilangan anak bertemu ayah dua permata hati.

"Apa hari ini Anda sibuk, Pak Assegaf?" tanya Dokter Tian ramah.


"Tidak. Saya hanya membantu Arlita merawat bunga-bunga ini." Dilambaikannya tangan ke arah petak-petak bunga yang tersebar di halaman rumahnya yang luas.

Senyuman Dokter Tian merekah. Satu langkah terlewati.

"Bisa ikut saya sebentar? Saya ingin mengajak Anda pergi bersama."

Abi Assegaf mengangguk. Bergegas masuk ke rumah, mengambil biola putihnya. Ia kembali beberapa menit kemudian. Dokter Tian membukakan pintu mobilnya. Meminta sosok ayah ideal itu duduk di sampingnya.

Lafaz Bismillah terucap. Mesin mobil dinyalakan. Sedan metalik itu meluncur meninggalkan rumah mewah tepi pantai. Baru seratus meter menjauh dari pantai, Dokter Tian melirik cemas ke arah Abi Assegaf. Dilihatnya wajah pria itu pucat.

"Pak Assegaf, Anda tidak apa-apa? Ac nya terlalu dingin ya?"

Abi Assegaf berdeham. Pelan merapatkan jasnya. AC mobil dimatikan. Rasa bersalah menghentak hati sang Hematolog. Terpaksa ia harus membawa Abi Assegaf pergi sore ini juga, apa pun yang terjadi.

Mentari sore berdamai dengan awan. Tak lagi agresif memanasi bumi dengan kekuatan ekstra. Ia menjatuhkan bayangan panjangnya di ruas-ruas jalan beraspal. Perjalanan cukup lancar.

**   


Ku melintas pada satu masa

Ketika ku menemukan cinta

Saat itu kehadiranmu

Memberi arti bagi hidupku

Meskipun bila saat ini

Kita sudah tak bersama lagi

Ada satu yang ku rindu

Kehangatan cinta dalam pelukanmu

Biarkan aku melukiskan bayangmu

Karena semua mungkin akan sirna

Bagai rembulan sebelum fajar tiba

Kau selalu ada

Walau tersimpan

Di relung hati terdalam

Biarkan aku melukiskan bayanganmu

Karena semua mungkin akan sirna

Bagai rembulan sebelum fajar tiba

Kau selalu ada

Walau tersimpan

Di relung hati terdalam

Karena semua mungkin akan sirna

Bagai rembulan sebelum fajar tiba

Kau selalu ada

Walau tersimpan

Selalu kusimpan

Di relung hati terdalam (Adera-Melukis Bayangmu).

Tangan putih dan kurus itu menggesek bow. Kedua mata teduhnya terpejam. Abi Assegaf memainkan biola dengan penuh penghayatan.

Dokter Tian berdiri di sampingnya. Trenyuh mendengarkan lagu yang dibawakan Abi Assegaf. Puluhan pasang mata tertuju pada pemimpin Assegaf Group itu. Bisik-bisik kekaguman terdengar di ruangan oval penuh kerlip lampu kristal. Wajah-wajah terpesona menyeruak.

"Ia sahabat kita yang mempesona," kata Dokter Tian setelah meraih mikrofon.

"Semangat hidupnya begitu tinggi. Kalian harus belajar banyak darinya."

Audience mengangguk setuju. Tepuk tangan bergemuruh.

Cafe mewah di tengah kota menjadi saksi. Semua ini kejutan Dokter Tian. Ia menyusun acara gathering komunitas penyintas kanker. Beberapa kali komunitas itu bertemu. Tak setiap bulan tentunya, karena kondisi kesehatan mereka.

"Zaki Assegaf, terkenal sebagai penyiar dan pengusaha. Prestasinya di dunia broadcasting tak diragukan lagi. Kesuksesan bisnisnya dapat kita lihat dari megahnya Assegaf Group yang ia kelola selama 20 tahun. Ia pernah mendapat penghargaan Pengusaha Inspiratif dari majalah..."

Semangat menggelembung di dasar hati. Abi Assegaf sedikit tersanjung saat Dokter Tian menyebutkan sederet prestasinya. Ia baru tahu satu hal. Ternyata Dokter Tian mahir menjadi MC.

Para penyintas kanker terkagum-kagum. Sekejap saja Abi Assegaf menjadi idola. Pesona, semangat hidup, dan prestasinya sukses merebut hati.

Acara berlanjut. Break sejenak saat azan Maghrib. Dilanjutkan hingga waktu makan malam. Sesi dinner menjadi segmen penutup acara.

Semua makanan yang disajikan terasa enak dan bergizi. Fasilitator acaranya seorang dokter, mereka tak perlu ragu mutu makanan dan kebersihannya. Dokter Tian memapah tubuh Abi Assegaf ke meja utama. Sejak turun dari mobil tadi sore, ayah Adica dan Syifa itu menolak memakai kursi roda.

"Mengapa Anda membuat acara ini?" Abi Assegaf menanyai Dokter Tian.

Dokter yang terpaut tiga tahun dengannya itu tersenyum tipis. "Untuk mengenang anak saya. Hari ini tanggal kematiannya."

Mendengar itu, Abi Assegaf berhenti meneguk jus apelnya. Ia melempar pandang penuh tanya. Dokter Tian mendesah. Ia lupa, Abi Assegaf belum tahu apa-apa.

"Al, anak tunggal saya, meninggal karena kanker darah."

Sepasang mata teduh itu melebar tak percaya. Bayangan kesedihan terlintas di wajah sang dokter.

"Kanker darah?" ulang Abi Assegaf kaget.

"Iya. Seperti penyakitnya Calvin."

Ia baru tahu, sungguh baru tahu. Hematolog satu ini menyimpan cerita duka. Abi Assegaf mungkin lupa. Setiap orang memiliki cerita duka dalam kehidupannya. Tak ada lembar hidup yang sempurna terbebas dari kesedihan.

Tangan kanan Dokter Tian sigap menuangkan sup ke dalam mangkuk. Lembut disodorkannya mangkuk itu ke hadapan Abi Assegaf.

"Terima kasih Anda mau datang ke acara saya," ujarnya.

"Bagaimana rasanya kehilangan anak?"

Pertanyaan itu spontan terlontar. Wajah Dokter Tian berubah sendu. Dalam hati Abi Assegaf menyesali dirinya sendiri. Enak sekali bertanya tanpa berpikir efeknya lebih jauh.

"Maaf, Dokter Tian. Saya tak bermaksud..."

"Tidak apa-apa. Rasanya...seperti Effendi yang harus merelakan Adica."

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Abi Assegaf sempurna terenyak. Benaknya diacak-acak rasa bersalah.

Sulit sekali belajar melepaskan. Mau tidak mau, suka tidak suka, tiap orang harus berhadapan dengan kata 'melepaskan' dalam alur hidupnya. Entah melepaskan hal berharga maupun tidak berharga.

"Pak Assegaf, saya hanya butuh setengah detik untuk mencintai anak saya. Tapi, saya butuh lebih dari setengah dekade untuk mengikhlaskan kepergiannya."

Suara Dokter Tian bergetar. Dua titik bening membasahi kacamata perseginya. Sesudah menghela nafas dalam, dia meneruskan.

"Saya menderita. Kehilangan anak adalah pukulan terberat dalam hidup saya, melebihi kehilangan harta. Effendi merasakan hal yang sama saat melepaskan Adica."

"Adica...Adica anakku." gumam Abi Assegaf tanpa sadar.

Mata Dokter Tian berkilat. Hati Abi Assegaf bagai tertampar. Benarkah ia telah memisahkan anak dari ayah kandungnya? Berlaksa kasih sayang yang ditumpahkannya pada Adica takkan mampu menghapus kenyataan. Ikatan darah adalah niscaya.

**    

Esoknya, pagi-pagi sekali, Dokter Tian menjemput Abi Assegaf. Sukses mengundang keheranan Arlita. Mengapa dua hari berturut-turut suaminya bepergian dengan Dokter Tian?

"Kamu mau pergi lagi, Assegaf Sayang?" tanya Arlita, amat berharap suaminya tak mau.

"Iya. Hanya sebentar, Arlita."

Wanita cantik itu menghela nafas. Berat hati mengantar Abi Assegaf ke halaman depan. Senyum ramah Dokter Tian menyambutnya. Diselingi janji untuk menjaga yang sakit.

"Maafkan istri saya," kata Abi Assegaf di tengah perjalanan.

"Tidak apa-apa. Arlita mencemaskan Anda. Beruntung Anda memilikinya..."

Suara Dokter Tian mengecil lalu menghilang. Ruang pemahaman membuka di labirin jiwa. Abi Assegaf mengerti kondisi pernikahan Dokter Tian. Istana cinta yang berantakan gegara kematian seorang anak.

"Pak Assegaf, Anda sudah minum obat?" tanya Dokter Tian tiba-tiba.

Abi Assegaf mengangguk sambil lalu. Sedikit tak nyaman ditanyai soal obat dan penyakitnya. Dokter Tian tersenyum puas.

Mobil meluncur terus, terus ke utara. Melewati pusat bisnis, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, Refrain Radio, dan perumahan nasional. Setengah jam berkendara, Dokter Tian menepikan mobilnya di gerbang pemakaman.

Turun dari mobil, Dokter Tian dan Abi Assegaf disambut kerumunan orang yang mengamuk. Teriakan-teriakan terdengar memecah keheningan pagi. Sejumlah orang bersarung dan berkopiah putih memukul-mukul gerbang pemakaman.

"Sampai kapan pun, kami tidak rela gerbang makam dihias mozaik salib!" teriak mereka.

Fanatisme beragama, itulah pangkal permasalahan. Dokter Tian dan Abi Assegaf saling tatap. Mengapa pemasangan mozaik salib harus dilarang? Sulitnya membendung manuver orang-orang mabuk agama.

Tanpa kata, Abi Assegaf mendekati kerumunan orang mabuk agama itu. Tepat ketika mereka akan memukuli penjaga makam dan petugas yang memasangkan mozaik salib. Sebuah tindakan nekat.

"Mengapa harus melarang atribut agama?" Abi Assegaf bertanya, lembut dan berwibawa.

Sontak kerumunan fanatik itu terdiam. Seakan terbius kharisma Abi Assegaf.

"Coba kalian yang memasang kaligrafi ayat Al-quran di sini, lalu kalian diserang. Bagaimana perasaan kalian?"

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun