Sepasang mata teduh itu melebar tak percaya. Bayangan kesedihan terlintas di wajah sang dokter.
"Kanker darah?" ulang Abi Assegaf kaget.
"Iya. Seperti penyakitnya Calvin."
Ia baru tahu, sungguh baru tahu. Hematolog satu ini menyimpan cerita duka. Abi Assegaf mungkin lupa. Setiap orang memiliki cerita duka dalam kehidupannya. Tak ada lembar hidup yang sempurna terbebas dari kesedihan.
Tangan kanan Dokter Tian sigap menuangkan sup ke dalam mangkuk. Lembut disodorkannya mangkuk itu ke hadapan Abi Assegaf.
"Terima kasih Anda mau datang ke acara saya," ujarnya.
"Bagaimana rasanya kehilangan anak?"
Pertanyaan itu spontan terlontar. Wajah Dokter Tian berubah sendu. Dalam hati Abi Assegaf menyesali dirinya sendiri. Enak sekali bertanya tanpa berpikir efeknya lebih jauh.
"Maaf, Dokter Tian. Saya tak bermaksud..."
"Tidak apa-apa. Rasanya...seperti Effendi yang harus merelakan Adica."
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Abi Assegaf sempurna terenyak. Benaknya diacak-acak rasa bersalah.