Sulit sekali belajar melepaskan. Mau tidak mau, suka tidak suka, tiap orang harus berhadapan dengan kata 'melepaskan' dalam alur hidupnya. Entah melepaskan hal berharga maupun tidak berharga.
"Pak Assegaf, saya hanya butuh setengah detik untuk mencintai anak saya. Tapi, saya butuh lebih dari setengah dekade untuk mengikhlaskan kepergiannya."
Suara Dokter Tian bergetar. Dua titik bening membasahi kacamata perseginya. Sesudah menghela nafas dalam, dia meneruskan.
"Saya menderita. Kehilangan anak adalah pukulan terberat dalam hidup saya, melebihi kehilangan harta. Effendi merasakan hal yang sama saat melepaskan Adica."
"Adica...Adica anakku." gumam Abi Assegaf tanpa sadar.
Mata Dokter Tian berkilat. Hati Abi Assegaf bagai tertampar. Benarkah ia telah memisahkan anak dari ayah kandungnya? Berlaksa kasih sayang yang ditumpahkannya pada Adica takkan mampu menghapus kenyataan. Ikatan darah adalah niscaya.
** Â Â
Esoknya, pagi-pagi sekali, Dokter Tian menjemput Abi Assegaf. Sukses mengundang keheranan Arlita. Mengapa dua hari berturut-turut suaminya bepergian dengan Dokter Tian?
"Kamu mau pergi lagi, Assegaf Sayang?" tanya Arlita, amat berharap suaminya tak mau.
"Iya. Hanya sebentar, Arlita."
Wanita cantik itu menghela nafas. Berat hati mengantar Abi Assegaf ke halaman depan. Senyum ramah Dokter Tian menyambutnya. Diselingi janji untuk menjaga yang sakit.