Audience mengangguk setuju. Tepuk tangan bergemuruh.
Cafe mewah di tengah kota menjadi saksi. Semua ini kejutan Dokter Tian. Ia menyusun acara gathering komunitas penyintas kanker. Beberapa kali komunitas itu bertemu. Tak setiap bulan tentunya, karena kondisi kesehatan mereka.
"Zaki Assegaf, terkenal sebagai penyiar dan pengusaha. Prestasinya di dunia broadcasting tak diragukan lagi. Kesuksesan bisnisnya dapat kita lihat dari megahnya Assegaf Group yang ia kelola selama 20 tahun. Ia pernah mendapat penghargaan Pengusaha Inspiratif dari majalah..."
Semangat menggelembung di dasar hati. Abi Assegaf sedikit tersanjung saat Dokter Tian menyebutkan sederet prestasinya. Ia baru tahu satu hal. Ternyata Dokter Tian mahir menjadi MC.
Para penyintas kanker terkagum-kagum. Sekejap saja Abi Assegaf menjadi idola. Pesona, semangat hidup, dan prestasinya sukses merebut hati.
Acara berlanjut. Break sejenak saat azan Maghrib. Dilanjutkan hingga waktu makan malam. Sesi dinner menjadi segmen penutup acara.
Semua makanan yang disajikan terasa enak dan bergizi. Fasilitator acaranya seorang dokter, mereka tak perlu ragu mutu makanan dan kebersihannya. Dokter Tian memapah tubuh Abi Assegaf ke meja utama. Sejak turun dari mobil tadi sore, ayah Adica dan Syifa itu menolak memakai kursi roda.
"Mengapa Anda membuat acara ini?" Abi Assegaf menanyai Dokter Tian.
Dokter yang terpaut tiga tahun dengannya itu tersenyum tipis. "Untuk mengenang anak saya. Hari ini tanggal kematiannya."
Mendengar itu, Abi Assegaf berhenti meneguk jus apelnya. Ia melempar pandang penuh tanya. Dokter Tian mendesah. Ia lupa, Abi Assegaf belum tahu apa-apa.
"Al, anak tunggal saya, meninggal karena kanker darah."