Alarm terus berbunyi. Calvin terbangun, meraih iPhonenya, lalu menggeser ikon 'dismiss'. Pukul tiga pagi, sepertiga akhir malam. Waktunya Tahajud. Pria tampan yang pernah menyamar menjadi Gabriel itu tak lupa, sungguh tak pernah lupa.
Lupakah Dokter Tian kalau hari ini ulang tahun almarhum anaknya? Tidak, sama sekali tidak. Ia bahkan telah mengosongkan jadwal pekerjaannya. Semata demi menikmati hari ini. Menikmati hari, tanpa istrinya.
Istrinya tak perlu mengingatkan. Tak perlu repot-repot memasang reminder. Ia sudah ingat sendiri. Tuan Effendi menatap refleksi dirinya di cermin. Tersenyum puas, lalu berjalan meninggalkan walk-in-closet.
Tiga jam berlalu. Tepat pukul enam pagi, sedan metalik Dokter Tian tiba di rumah mewah lereng bukit. Calvin dan Tuan Effendi berdiri tegak di ujung halaman, telah siap pergi. Sesaat ketiga pria tampan beda generasi itu saling ttatap. Menakar penampilan satu sama lain dari atas ke bawah.
"On time," Dokter Tian tersenyum penuh kemenangan, melirik arlojinya.
"Jasmu bagus, Tian. Baru, ya? Dior lagikah? Atau Ermeneguildo?" selidik Tuan Effendi.
"Tidak juga. Aku beli setengah tahun lalu di Singapore. Tapi, harganya lebih murah dari jam tangan Calvin."
Spontan Calvin menyentuh Guessnya. Tuan Effendi membandingkan jas Dokter Tian dengan miliknya sendiri. Tangan kokoh nan hangat Dokter Tian menepuk-nepuk lengannya.
"Sudahlah. Buat apa membandingkan baju? Ayo kita pergi."
"Aturan mainnya..." kata Calvin tegas.
"No gadget, no sosmed, no politik."