Abi Assegaf berlutut. Ditaburkannya bunga ke atas pusara. Perlahan mendaraskan doa. Semoga Umminya tenang di sana.
Selesai berdoa, ia mengusap-usap nisan cantik itu. Imajinya melayang, membayangkan Umminya ada di sini. Berdiri di sisinya, mendengarkan ceritanya.
Di makam ini, ia mengadu. Mencurahkan segala sedih, pilu, cemas, dan harapan. Sejumput harapan tumbuh di hati terdalam. Harapan agar ia bisa selalu ada untuk Adica. Selalu ada pula untuk Arlita dan Syifa.
Di tengah hantaman kanker paru-paru, berapa lamakah sisa waktunya? Abi Assegaf merasakan patahan semangat hidup berserakan di dasar hati. Berkaca dari Jadd Hamid, Abi Assegaf tak ingin seperti ayahnya. Ayah yang menelantarkan anak, ayah yang meninggalkan anak di saat sakit, ayah yang lebih memilih istri baru dibandingkan anak tunggalnya.
"Anak Zaki sakit, Ummi. Zaki takut terjadi sesuatu yang buruk padanya." Abi Assegaf mulai bercerita. Seakan Tamara Shihab mendengar, seakan wanita cantik itu mengerti.
"Andai saja Abi tidak pernah mengenal perempuan itu dan berniat poligami...Ummi masih di sini. Ummi pasti masih bisa menemani Zaki melewati hitam-putihnya hidup ini. Ummi pasti masih bisa melihat Adica dan Syifa...juga Arlita."
Gelembung kesedihan pecah. Abi Assegaf menyeka ujung mata. Cairan hangat meresap di telapak tangannya.
"Gegara poligami, Ummi meninggal. Zaki menolak poligami, Ummi. Sampai kapan pun, Zaki tidak akan pernah menduakan Arlita."
Percayalah, Abi Assegaf akan menepati janjinya. Staf Refrain Radio dan Assegaf Group mengenal Abi Assegaf sebagai sosok perfeksionis, lurus, dan saklek. Bila ia sudah berjanji, apa pun takkan bisa mengalahkan konsistensinya.
"Poligami dibolehkan, tapi Zaki tolak. Zaki hanya untuk Arlita."
Semak belukar dan rerimbunan kamboja berkeresak. Senandung hujan kembali menyapa. Abi Assegaf menekap dada, merasakan dingin yang menghebat.