Hujan bersenandung sedih. Gelegar petir memukul-mukul ulu hati. Lantai marmer bergetar keras.
"Effendi, jangan terlalu keras pada Calvin." tegur Nyonya Rose.
"Biarkan saja. Rose, aku tak suka anak kita dekat dengan adiknya." Tuan Effendi berkata dingin, kecewa sekali dengan perbuatan Calvin.
"Apa yang kaudapat darinya, My Dear Calvin? Hanya pembiaran, sikap dingin, dan luka."
Calvin menundukkan pandang, tak kuasa membalas tatapan tajam Papanya. Hatinya makin terluka ketika sang Papa melarangnya bersikap baik pada Adica.
"Adica anakku..." panggil Abi Assegaf.
Violinis dan penyiar itu berhenti menjulurkan tubuh di pagar teralis balkon. Ia memutar tubuh, mendapati Abi  Assegaf berdiri di belakangnya. Tangan kirinya menenteng dua stoples kue. Tangan kanannya memegang amplop dengan logo tertera di kanan atas.
"Abi ingin membagikan ini bersamamu. Ayo."
"Masih hujan, Abi..."
"Abi, Abi! Dia bukan Abimu!"
Nada suara Tuan Effendi kembali meninggi. Hal yang paling dibenci Calvin adalah kekasaran orang tua pada anak. Terlebih bila si orang tua tidak konsisten.
"Selamanya Abi Assegaf akan tetap menjadi ayah keduaku." kata Calvin tegas.
Tegas sekali nada suara Abi Assegaf saat menyatakan kinginannya berbagi makanan di tengah hujan. Adica menyerah. Dengan cemas, diikutinya langkah Abi Assegaf ke luar rumah.
Tempias hujan membasahi wajah mereka. Dua pria tampan berjas rapi itu menebar kebaikan di bawah derasnya hujan. Pantai berpasir putih sepi sekali. Sulit menemukan native akar rumput yang menjadi sasaran berbagi.
"Berbagi?" Tuan Effendi tersenyum getir.
"Tidak adakah tempat berbagi kebaikan lain?"
"Calvin lelah," potong Calvin cepat. Ia berbalik, setengah berlari menaiki tangga. Tak peduli tindakannya mungkin kurang sopan. Papanya sudah melebihi batas.
Batas toleransi orang menghadapi dinginnya hujan berbeda-beda. Adica menahan luapan kekhawatiran. Bagaimana bila ayah keduanya sakit? Dia tak bisa memaafkan dirinya sendiri bila hal itu terjadi.
Sudah lama Adica dan Abi Assegaf tidak berjalan berdua seperti ini. Tepatnya sejak Arlita dan Syifa kembali tinggal bersama mereka. Kini, saatnya mereka kembali merantai kebersamaan sebagai ayah dan anak.
"Ada yang ingin Abi tanyakan," Abi Assegaf angkat bicara.
** Â Â
Ku melintas pada satu masa
Ketika ku menemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu yang ku rindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau selalu ada
Walau tersimpan
Di relung hati terdalam
Biarkan aku melukiskan bayanganmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau selalu ada
Walau tersimpan
Di relung hati terdalam
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba
Kau selalu ada
Walau tersimpan
Selalu kusimpan
Di relung hati terdalam (Adera-Melukis Bayangmu).
Di puncak karang putih sebesar granit, Abi Assegaf memainkan biolanya. Biola putih kesayangannya, senada dengan warna langit dan hamparan pasir. Adica berdiri di sisinya.
Buncahan kekhawatiran lesap. Hatinya menghangat mendengar lagu yang dibawakan Abi Assegaf. Selamat tinggal kekhawatiran. Selamat datang kehangatan.
"Apa kata Dokter Tian, Nak? Haruskah kamu cuci darah?" tanya Abi Assegaf lembut.
"Belum, Abi. Kondisinya belum separah itu." jawab Adica menenteramkan.
Mata teduh Abi Assegaf mencerminkan kecemasan. Kecemasan seorang ayah pada anaknya. Lama merawat Adica membuat ia belajar banyak tentang Granulomatosis Wegener. Penyakit kelainan darah yang cukup langka. Inflamasi pembuluh darah itu membuat penderitanya berisiko mengalami gangguan di organ ginjal dan paru-paru.
"Abi mencemaskanmu, Sayang." ungkap Abi Assegaf jujur.
Adica menatap lekat wajah ayah keduanya. "Akulah yang sangat mengkhawatirkan Abi."
"Kita saling mengkhawatirkan. Saling menguatkan, itu lebih baik."
Sesosok anak nelayan berkaki telanjang lewat di depan mereka. Seluruh tubuhnya basah. Di tangannya, terkumpul kerang-kerang kecil. Mungkin saja ia disuruh orang tuanya mencari kerang. Riskan untuk melaut di tengah cuaca buruk begini.
Pelan-pelan Abi Assegaf turun dari puncak karang. Ia hampiri anak nelayan itu. Si anak terlihat sedih dan kdinginan. Dengan lembut, Abi Assegaf mendekap si anak nelayan seraya mengusap-usap kepalanya. Diberinya stoples kue untuk anak nelayan itu.
Dari tempatnya berdiri, Adica bisa melihat sepasang mata coklat nan polos berbinar bahagia. Abi Assegaf mencium anak itu, lalu kembali naik ke puncak karang. Ia balas melambai ketika si anak penerima kue melambai pergi.
Tergetar hati Adica melihat apa yang dilakukan ayahnya. Abi Assegaf dicintai keluarga-keluarga di pesisir pantai itu. Nelayan, para istri, dan anak-anak, semua mencintainya.
"Abi selalu ada untuk mereka...seperti Abi selalu ada untukku, Ummi, dan Syifa."
"Tapi Abi tak tahu sampai kapan. Kita tak pernah tahu, berapa banyak lagi sisa pasir waktu di dunia yang termiliki."
Andai malaikat maut bisa diajak bernegosiasi. Andai megaserver Lauhul Mahfuzh milik Allah bisa di-hack dan diotak-atik. Tentunya setiap yang bernyawa akan melakukan apa pun untuk memperpanjang usia.
Sesaat kemudian, ayah dan anak itu turun dari puncak karang. Hujan berhenti bersenandung. Menyapukan hawa sejuk dan segar. Adica dan Abi Assegaf berjalan-jalan di sepanjang pasir putih. Sejauh mungkin dari jangkauan buih ombak.
"Aku lelah di Refrain, Abi." Adica kembali bicara, merapatkan jas Ermeneguildonya.
"Karena kakekmu ya?" tebak Abi Assegaf, tersenyum sendu.
"Iya. Kantor kita jadi banyak intrik sejak Jadd Hamid kembali aktif. Pengaruhnya kuat sekali."
"Lalu apa yang ingin kaulakukan, Nak?"
"Resign."
Mendengar itu, Abi Assegaf tertegun. Dalam hati ia menanyai Allah. Mengapa Allah memberinya sosok ayah penebar luka? Belum cukup melukai Abi Assegaf, Jadd Hamid melukai Adica. Sampai-sampai niat untuk resign terangkat ke permukaan.
"Pikirkan baik-baik, Adica. Resign itu keputusan besar. Jangan mundur hanya karena intrik kantor."
"Sepertinya aku tidak diinginkan lagi di sana."
"Siapa bilang? Ingat pendengarmu. Abi, Ummi, dan Syifa membutuhkanmu di Refrain."
Benar juga. Resign sama saja lari dari masalah. Jadd Hamid justru akan memekikkan kemenangan bila cucu angkatnya mengundurkan diri. Mengundurkan diri berarti mengibarkan bendera kekalahan.
** Â Â
Senja dan malam berciuman. Lewat petang hari, malam menggantikan tugasnya menjaga langit. Dalam pekatnya malam, Abi Assegaf memasuki gerbang pemakaman.
Berkunjung ke kuburan malam-malam bukan hal menakutkan baginya. Ia telah sering melakukannya sejak masih muda. Tiap kali berziarah, hanya satu makam yang didatanginya: nisan cantik terbuat dari marmer bertuliskan Tamara Shihab.
Abi Assegaf berlutut. Ditaburkannya bunga ke atas pusara. Perlahan mendaraskan doa. Semoga Umminya tenang di sana.
Selesai berdoa, ia mengusap-usap nisan cantik itu. Imajinya melayang, membayangkan Umminya ada di sini. Berdiri di sisinya, mendengarkan ceritanya.
Di makam ini, ia mengadu. Mencurahkan segala sedih, pilu, cemas, dan harapan. Sejumput harapan tumbuh di hati terdalam. Harapan agar ia bisa selalu ada untuk Adica. Selalu ada pula untuk Arlita dan Syifa.
Di tengah hantaman kanker paru-paru, berapa lamakah sisa waktunya? Abi Assegaf merasakan patahan semangat hidup berserakan di dasar hati. Berkaca dari Jadd Hamid, Abi Assegaf tak ingin seperti ayahnya. Ayah yang menelantarkan anak, ayah yang meninggalkan anak di saat sakit, ayah yang lebih memilih istri baru dibandingkan anak tunggalnya.
"Anak Zaki sakit, Ummi. Zaki takut terjadi sesuatu yang buruk padanya." Abi Assegaf mulai bercerita. Seakan Tamara Shihab mendengar, seakan wanita cantik itu mengerti.
"Andai saja Abi tidak pernah mengenal perempuan itu dan berniat poligami...Ummi masih di sini. Ummi pasti masih bisa menemani Zaki melewati hitam-putihnya hidup ini. Ummi pasti masih bisa melihat Adica dan Syifa...juga Arlita."
Gelembung kesedihan pecah. Abi Assegaf menyeka ujung mata. Cairan hangat meresap di telapak tangannya.
"Gegara poligami, Ummi meninggal. Zaki menolak poligami, Ummi. Sampai kapan pun, Zaki tidak akan pernah menduakan Arlita."
Percayalah, Abi Assegaf akan menepati janjinya. Staf Refrain Radio dan Assegaf Group mengenal Abi Assegaf sebagai sosok perfeksionis, lurus, dan saklek. Bila ia sudah berjanji, apa pun takkan bisa mengalahkan konsistensinya.
"Poligami dibolehkan, tapi Zaki tolak. Zaki hanya untuk Arlita."
Semak belukar dan rerimbunan kamboja berkeresak. Senandung hujan kembali menyapa. Abi Assegaf menekap dada, merasakan dingin yang menghebat.
Sesosok wanita cantik berpakaian putih muncul dari balik rimbun kamboja. Dengan lembut dan penuh cinta, wanita itu menyelimutkan syal ke tubuh Abi Assegaf. Suara isakan terdengar membelah keheningan malam.
"Kau bisa pergi tanpa anak-anakmu, Zaki Sayangku. Tapi, tidak tanpaku."
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Tujuh detik, Abi Assegaf terperangah. Arlita datang memeluknya.
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H