Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Suster yang Tersingkir

17 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 17 Januari 2019   06:55 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pepatah bijak menyebutkan, manusia harus menerima hal-hal di luar kontrolnya. Bila dikaitkan dengan konteks kota metropolitan, artinya pergi ke mall. Mall dan kota besar, dua entitas yang tak terpisahkan.

Sejak kecil, Syifa mengakrabi mall-mall mewah di sana. Ia lahir dan tumbuh di kota yang tak pernah mati. Denyut kesibukan selalu terjadi dimana-mana. Tinggal di kota padat dengan infrastruktur setengah hancur dan kemacetan parah membuatnya berpikir ulang untuk menolak pergi ke mall.

Setidaknya, di dalam mall, ia bisa terbebas sejenak dari rusuhnya kota, denyut kesibukan, dan riuh kemacetan. Dan pastinya, terasa sejuk di dalam. Meski tak dapat diingkari, kehadiran mall-mall itu merebut porsi ruang publik cukup banyak. Seharusnya ruang publik itu bisa digunakan untuk membangun taman, spot bermain, atau rumah ibadah.

Fine, lupakan soal ruang publik. Izinkan Syifa bersenang-senang di sini bersama kedua orang yang mendampinginya sejak lahir hingga beranjak dewasa. Di mall terbesar dan termewah seluas 263 ribu meter persegi.

Mall mewah satu itu terbagi ke dalam East Wing dan West Wing. Katakanlah dua mall dijadikan satu. Kedua mall itu dihubungkan dengan jembatan besar. Kalian bisa menemukan apa saja di sana: resto mewah, resto fast food, playground, bioskop, tempat karaoke, gerai mewah, spa, dan lebih dari 180 toko. Toko-tokonya kebanyakan rasa butik. Sejumlah brand mewah menyesaki mall.

Bagi Arlita, mengunjungi mall merupakan aktivitas paling membosankan. Seumur hidup ia berulang kali keluar-masuk mall. Mulai dari mall kelas menengah hingga mall mewah di kota-kota besar. Selain untuk menghabiskan harta, ia juga mengejar peluang bisnis. Naluri peritelnya kuat sekali.

Lain lagi dengan Abi Assegaf. Tiap kali masuk mall, ia teringat Deddy. Deddy pernah menantangnya menghabiskan 19 jam di mall. Tantangan gila itu tercetus sewaktu ia dan Abi Assegaf menghabiskan 22 jam naik China Southern Airlines.

Andai saja tak terkena kanker dan diwajibkan banyak istirahat, Abi Assegaf akan memenuhi tantangan itu dengan senang hati. Arlita melarang keras soal tantangan ekstrem itu. Langsung saja Deddy dihadiahi tausyiah super panjang dari mantan model itu.

Apa pun persepsi tentang mall, ketiga anggota keluarga itu bahagia bisa quality time di sini. Bukan venue yang jadi prioritas, tetapi waktu untuk bersama. Dimana pun tempatnya, asalkan bisa quality time.

"Hmmm kalau ke mall ini, aku jadi ingat si Deddy." Arlita mendesah, tatapannya menerawang.

Abi Assegaf tersenyum kecil. Rupanya ia dan istrinya teringat hal yang sama.

"Om Deddy ada-ada aja ya. Masa kasih tantangan gitu sama Abi?" Syifa tak bisa menahan komentarnya.

"Awas, nanti orangnya baper lho kita obrolin kayak gini." seloroh Arlita.

"Ini sudah jam makan siang. Bisa-bisa dia tersedak kalau terasa ada yang sedang membicarakannya."

Bisa saja Arlita. Tapi ia benar. Jarum jam berputar di angka 12.35 WIB.

**   


SudahLama ku dan dia berpisah

RupanyaHati masih saja terluka

Ku memilih untuk sendiri

Hanya bisa berharapTak terulang lagi

Jatuh hatiku yang pertama

Sempat buat ku kecewa

Dan meragukan jatuh cinta

Sementara ku akan terlepas

Dari hubungan asmara

Ku belum siap terjatuh

Untuk kedua kalinya (Sheryl Sheinafia-Kedua Kalinya).

Lagu mengalun pelan dari live music di seputaran food court. Menemani orang-orang berpakaian rapi yang tengah menikmati makan siang. Mereka datang dari gedung perkantoran di seberang mall. Makan siang di mall menjadi pilihan favorit mereka.

Mengapa lagunya mellow sekali? Syifa bertanya dalam hati. Ia mencuri-curi pandang ke arah Abi-Umminya. Keduanya keasyikan memilih menu. Tak begitu memperhatikan isi lagu.

Lagu bernuansa melankolis membuat Syifa teringat Adica. Rasanya acara jalan-jalan mereka tak lengkap. Tanpa Adica, quality time jadi berbeda. Tapi...

"Ummi senang kita bisa jalan-jalan bertiga. Sudah lama tidak seperti ini ya," kata Arlita.

"Iya. Biasanya kita bepergian terpisah. Kamu sama Adica, atau Abi sama kamu, dan sebaliknya." balas Abi Assegaf.

Syifa mengangguk dan tersenyum. Ya, sudah lama mereka tidak pergi bertiga. Hanya bertiga. Tanpa orang lain. Biar pun Adica sudah menjadi bagian keluarga Assegaf, tetap saja ketiganya butuh privacy. Butuh quality time hanya untuk mereka sendiri.

"Abi, Ummi, apa dia tidak cemburu kalau tahu kita pergi tanpa dirinya?" tanya Syifa hati-hati.

"Tentu saja tidak. Adicamu itu baru akan cemburu kalau Abi lebih perhatian sama Calvin."

"Oh iya ya...Syifa lupa."

Selesai memilih menu, ketiganya menempati meja no. 24. Meja paling dekat dengan panggung. Lagi-lagi Syifa mengedarkan pandang ke sekitar food court. Makin padat saja ruangan luas berlantai linoleum dan beraroma masakan itu. Orang-orang dengan berbagai tingkat kekayaan dan kerapian berjejalan. Ada yang datang sendirian, berdua-dua, bertiga, dan berombongan. Mereka membuat suara tak hentinya.

Rerata wanita pengunjung mall ini mengenakan high heels. Rok beludru, kaus ketat, dan make up bukan pemandangan baru lagi. Ke mall seperti mau berangkat ke pesta saja.

Sekumpulan pria-wanita berpakaian batik duduk di meja paling ujung. Anehnya, mereka tak saling bicara. Meja mereka boleh sama, tetapi kelakuan mereka pun serupa: sibuk dengan ponsel di tangan. Lalu, apa gunanya duduk semeja bila akhirnya gadget oriented lagi?

"Abi, lihat itu." tunjuk Syifa.

Abi Assegaf mengikuti arah pandang putrinya. Segera ia paham. Dielusnya rambut Syifa penuh kasih sayang.

"Duduk semeja hanya formalitas, Sayang. Pergeseran perilaku, karena semua orang terpaku ke layar gawai." jelas Abi Assegaf lembut.

"Begitukah sikap mereka di kantor, Abi?"

"Bisa iya, bisa tidak. Zaman digital membuat orang jadi individualis."

Dua orang perempuan memasuki food court. Satu perempuan cantik berpakaian branded dengan kulit putih dan mata segaris. Satunya lagi perempuan berseragam putih dengan membawa kereta bayi. Sekali pandang saja, Syifa bisa menarik konklusi. Majikan yang membawa susternya jalan-jalan. Si suster disuruh mendorong kereta bayi anaknya.

Entah mengapa, perasaan Syifa tak enak. Ia tatapi suster itu lekat-lekat. Wajah sang suster begitu letih. Gurat-gurat halus di wajahnya menandakan penuaan dini. Tubuhnya kurus.

Kontras sekali dengan si majikan. Ia sosok perempuan cantik dan kaya. Binar matanya menampakkan kemudahan hidup. Pakaian, sepatu, dan aksesoris yang melekat di tubuhnya mencerminkan kemesraannya dengan barang-barang impor. Garis wajahnya menegaskan si perempuan tak ingin susah hidup, tak mau direpotkan dengan urusan remeh semacam mendorong kereta bayi.

"Aku tak suka." gumam Syifa tertahan.

"Tak suka apa, Sayang? Oh, kamu tak suk menunya ya? Mau ganti yang lain?"

Abi Assegaf membungkuk di depannya, pelan mengelus pergelangan tangan Syifa. Sementara itu, Arlita menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir dengan cara suaminya memanjakan sang putri.

"Bukan, Abi. Syifa tak suka itu."

Ditunjuknya sepasang perempuan beda kasta. Melihat itu, Abi Assegaf dan Arlita tersenyum penuh arti. Membandingkan perempuan kaya itu dengan kelakuan mereka sendiri di masa lalu.

"Iya, Ummi juga tidak suka. Sebanyak apa pun pelayan di rumah, Ummi takkan memberatkan mereka dengan kereta bayi di mall."

"Ummi tidak pernah mengajak mereka jalan-jalan ke mall sambil membawa bayi, kan?"

Arlita menjawab tegas. "Tidak. Anak Ummi ya akan tetap jadi tanggung jawab Ummi. Bukan tanggung jawab asisten rumah tangga."

Kedua ibu jari Syifa terangkat. Tak mau kalah, Abi Assegaf bercerita.

"Waktu kamu berumur empat tahun, Abi sering bawa kamu jalan-jalan. Abi tidak membiarkan pelayan mana pun menyentuhmu. Abi sendiri yang menggendongmu, mengajakmu ke tempat bermain, dan membawa tas bekalmu."

"Wow...Abi dan Ummi hebat."

Kembali mereka mengawasi majikan dan susternya. Terlihat si majikan memilih banana nutella blizzard dan chicken teriyaki. Ironisnya, ia hanya membeli satu porsi. Suster itu tak mendapat makanan sama sekali.

Mata Syifa melebar tak percaya. Hatinya tersentuh iba ketika melihat suster itu berdiri sendirian di pojok sambil memegangi kereta bayi. Sementara si majikan melahap makan siangnya.

Apa-apaan ini? Pemandangan memuakkan. Seorang majikan membawa pelayan berjalan-jalan, memberatkannya dengan kereta bayi, lalu makan siang tanpa menawari si pelayan. Orang luar pun tahu, kereta bayi itu sangat berat. Bayi lelaki yang terbaring di dalamnya sangat gemuk. Belum cukup, kereta bayi itu pun diisi tas besar berisi popok dan keperluan lainnya.

Terdorong sisi kemanusiaan, Syifa bangkit berdiri. Mendorong kursinya ke belakang. Tangan Abi Assegaf menahannya lembut.

"Syifa mau beliin makanan buat suster itu, Abi. Kasihan dia."

"Biar Abi saja."

"Tapi..."

"Wait and see."

Tegas, Abi Assegaf menyuruh putrinya menunggu dan melihat. Dengan kesigapan tak terduga, pria tampan yang tak lagi muda itu melangkah menghampiri sang suster. Abi Assegaf menyapa suster itu, lalu bertanya.

"Kenapa Anda tidak makan?"

"Saya sudah kenyang," jawab suster itu. Tapi wajah dan perutnya berkhianat.

"Kenyang? Atau Anda tidak ditawari majikan Anda itu?"

Sang suster menunduk. Tanpa kata, Abi Assegaf menuntun suster itu dan kereta bayinya ke meja kosong. Ia memesankan seporsi besar nasi goreng, bubur mutiara, dan segelas jus apel. Suster itu mengucap terima kasih dengan wajah bersalah.

Apa yang salah? Pikir Syifa. Yang dilakukan Abi Assegaf sudah benar. Arlita menyilangkan lengan, menatap angkuh perempuan majikan tak peka perasaan itu. Lihat suamiku, kamu harusnya malu. Begitu makna tatapannya.

"Great for you, Abi." Syifa memuji, merangkul hangat Abi Assegaf. Mencium kedua pipinya.

Arlita tertawa sinis. "Biar malu si majikan itu. Makanya, jangan pelit-pelit sama suster."

"Beda dengan kita, Arlita. Kamu ingat kan? Tiap kali kita bawa para pelayan jalan-jalan..."

Tanpa perlu diingatkan, Syifa tahu. Abi Assegaf dan Arlita selalu memesankan makanan lezat tiap kali membawa enam pelayan jalan-jalan bersama mereka. Tak ada sekat, tak ada pembeda kasta. Wajar bila enam pelayan betah sekali bekerja untuk keluarga Assegaf.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun