"Bisa iya, bisa tidak. Zaman digital membuat orang jadi individualis."
Dua orang perempuan memasuki food court. Satu perempuan cantik berpakaian branded dengan kulit putih dan mata segaris. Satunya lagi perempuan berseragam putih dengan membawa kereta bayi. Sekali pandang saja, Syifa bisa menarik konklusi. Majikan yang membawa susternya jalan-jalan. Si suster disuruh mendorong kereta bayi anaknya.
Entah mengapa, perasaan Syifa tak enak. Ia tatapi suster itu lekat-lekat. Wajah sang suster begitu letih. Gurat-gurat halus di wajahnya menandakan penuaan dini. Tubuhnya kurus.
Kontras sekali dengan si majikan. Ia sosok perempuan cantik dan kaya. Binar matanya menampakkan kemudahan hidup. Pakaian, sepatu, dan aksesoris yang melekat di tubuhnya mencerminkan kemesraannya dengan barang-barang impor. Garis wajahnya menegaskan si perempuan tak ingin susah hidup, tak mau direpotkan dengan urusan remeh semacam mendorong kereta bayi.
"Aku tak suka." gumam Syifa tertahan.
"Tak suka apa, Sayang? Oh, kamu tak suk menunya ya? Mau ganti yang lain?"
Abi Assegaf membungkuk di depannya, pelan mengelus pergelangan tangan Syifa. Sementara itu, Arlita menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir dengan cara suaminya memanjakan sang putri.
"Bukan, Abi. Syifa tak suka itu."
Ditunjuknya sepasang perempuan beda kasta. Melihat itu, Abi Assegaf dan Arlita tersenyum penuh arti. Membandingkan perempuan kaya itu dengan kelakuan mereka sendiri di masa lalu.
"Iya, Ummi juga tidak suka. Sebanyak apa pun pelayan di rumah, Ummi takkan memberatkan mereka dengan kereta bayi di mall."
"Ummi tidak pernah mengajak mereka jalan-jalan ke mall sambil membawa bayi, kan?"