Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Katarsis

16 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 16 Januari 2019   06:13 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Bagi Syifa, menggunakan kekuasaan orang tua adalah tindakan bodoh. Teman-temannya sering kali paham. Dengarlah kata mereka siang ini.

"Hmmmm, pasti kamu udah dapat tempat magang ya."

Mendengar itu, si putri kampus mengangkat alis. Ia sama sekali belum memikirkannya. Menyelesaikan artikel ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal nasional masih jadi list prioritas.

"Belum tuh. Aku masih sibuk sama jurnal. Kenapa memangnya?"

"Yah, kamu sih enak. Bisa magang di Refrain, atau di kantor-kantor Abimu yang lain."

Syifa memajukan bibirnya. Ekspresi tak senang melintasi wajah. Nepotisme, ia benci itu.

"Aku duluan. Udahlah, nggak usah bahas magang. Bye."

Dengan mood hancur, gadis cantik itu meraih tas Pradanya. Melenggang anggun keluar kelas. Seorang pemuda bertubuh pendek-gemuk mengejarnya. Menjejalinya pertanyaan soal tempat magang. Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir si pemuda. Menolak keras saat pemuda itu meminta kelonggaran dari koneksi orang dalam.

"Ayolah, Syifa. Please...please...please. Aku belum punya tempat magang."

"Nggak! Pokoknya aku nggak mau! Cari sendiri sana!" tolak Syifa habis sabar.

Si pemuda terus saja memohon. Putri tunggal Abi Assegaf itu jengah. Dikibaskannya lengan, mengusir teman lelakinya. Dia paling benci jika disuruh memanfaatkan kekuasaan dan kekayan ayahnya.

Tangan Syifa meraih pegangan pintu. Benda ini penyelamatnya. Tergesa ia putar handel pintu, lalu ia melangkah ke koridor. Detik berikutnya, Syifa berlari ke lift. Menghiraukan seruan permohonan rasa kekesalan teman-temannya.

Lift kosong. Di dalam benda stainless nan dingin itu, Syifa menenangkan diri. Berusaha melumerkan kekesalannya. Memiliki orang tua yang lebih bukan untuk dimanfaatkan. Mereka tidak mengerti. Biar saja mereka membullynya nanti.

Ting

Pintu lift membuka. Tiba di lobi...

"Syifa Sayang..."

Abi Assegaf dan Arlita, tak salahkah ia? Syifa mengerjapkan mata, lalu tersadar. Benar, kedua orang tuanya ada di sana. Tersenyum hangat menyambutnya.

**    


Mungkin hari ini

Semua hanya mimpi

Tapi cepat atau lambat

Semua kan terjadi

Kau dan rencanamu

Aku di sampingmu

Kita erat bersepakat

Kelak kan ke sana

Cinta bukan satu-satunya

Yang bawa kita ke sana

Sebut saja dia logika

Menang mengalah bahagia

Jeda tak sepaham

Bukan tak seberapa

Kita erat pasti bisa

Lalui semua

Hari yang bahagia

Cinta bukan satu-satunya

Yang bawa kita ke sana

Sebut saja dia logika

Menang mengalah bahagia

Hari yang bahagia

Hari yang bahagia

Cinta bukan satu-satunya

Yang bawa kita ke sana

Sebut saja dia logika

Menang mengalah bahagia

Cinta bukan satu-satunya

Yang bawa kita ke sana

Sebut saja dia logika

Menang mengalah bahagia

Hari yang bahagia

Hari yang bahagia (Raisa-Hari Bahagia).

Alunan lagu terputar di radio mobil. Tangan Abi Assegaf dan Arlita bertautan. Mereka berduet seirama lagu. Tangan mereka saling genggam, tatapan mata mereka bertemu.

Syifa memandang mereka penuh arti. Senyuman terbit di bibir mungilnya. Melihat kemesraan Abi-Umminya, obat penawar kerisauan hati.

Masih segar dalam ingatan Syifa. Lagu itu menjadi lagu penutup di perayaan pernikahan kedua Abi Assegaf dan Arlita. Kala lagu itu dimainkan, keduanya berdansa di tepi pantai. Walau pernikahan sangat terlambat, walau menikah di usia yang tak lagi muda. Namun mereka tetap bahagia. Tentunya bahagia setelah menyatukan segala perbedaan.

Asyiknya tumbuh di keluarga broadcaster pecinta musik. Hari-hari diperindah dengan untaian lagu. Dimana ada lagu baru, di situlah liriknya selalu diingat. Pria-wanita seusia Abi Assegaf dan Arlita mungkin lebih suka lagu-lagu nostalgia. Tapi, pengecualian untuk pasangan public figure satu itu. Mereka hafal, mereka menggemari lagu-lagu populer kekinian. Abi Assegaf dan Arlita tak kalah gaul dengan kedua anak mereka.

Efek 'gaul' di usia yang tak lagi muda itu membuat mereka terlatih untuk membuat kejutan. Mereka berdua suka surprise. Muncul tiba-tiba di kampus Syifa pun salah satu seni memberi kejutan versi Assegaf-Arlita.

Ingatan Syifa melayang pada cerita teman sekelasnya. Sejak SMP, orang tua temannya itu tak pernah lagi mengantarnya ke sekolah. Jangankan mengantar, makan di luar pun sangat jarang. Berbeda dengan orang tua Syifa yang sangat memanjakannya. Tak ragu menunjukkan perhatian dan pamer kemesraan di depan publik.

"Sayangku, lagu ini tidak benar-benar baru. Kenapa ada di posisi keenam chart lagu Refrain?" selidik Arlita.

"Itu tugas MD, Arlita. Dia yang menentukan chart." Abi Assegaf menjawab santai.

Arlita membelalakkan mata. "Kubandingkan dengan chart radio-radio lain. MD-mu itu kudet, Sayang. Masa lagu-lagu lama dia masukkan? Pecat saja MD nggak becus kayak gitu."

Mendengar itu, Abi Assegaf tertawa kecil. Diusapnya rambut panjang Arlita.

"Tak semudah itu, Arlita. Dia tetap stafku. Masa mau pecat begitu saja hanya karena kesalahan chart?"

"Mudah bagimu melakukannya. Dengan sedikit kekuasaan..." Arlita menjentikkan jari.

Perasaan Syifa tak enak. Kekuasaan, kata itu mengganggu pikirannya. Kali ini diucapkan sang Ummi.

Resah mendorongnya menumpahkan isi hati. Syifa bergerak-gerak tak nyaman di car seat. Gesturenya tertangkap radar pandangan mata Abi Assegaf.

"Kenapa, Sayang?"

"Abi, Syifa nggak suka kalau ada yang manfaatin kekuasaan Abi."

Kedua alis Abi Assegaf terangkat. Pandangan bertanya ia lemparkan. Menghela nafas panjang, Syifa menceritakan kelakuan teman-temannya. Abi Assegaf mengangguk paham. Arlita tersenyum simpul.

"Jangan dipikirkan." respon Arlita singkat.

"Teman-temanmu masih mendewakan hidup instan."

Hidup instan? Istilah menggelikan. Tak ada hal instan yang berakhir baik. Hidup adalah serangkaian proses.

"Syifa Sayang, Abi senang kalau kamu tidak memanfaatkan kekuasaan. Pelajaran buat teman-temanmu untuk menghargai proses. Cobalah lebih lembut pada mereka." ujar Abi Assegaf lembut.

Tertegun Syifa mendengarnya. Ruang introspeksi diri terbuka perlahan. Benarkah ia terlalu kasar? Ya, Allah, maafkan Syifa, bisik hati kecilnya.

"Kamu sendiri tidak memikirkan tempat magang, Syifa?" Arlita mengalihkan pembicaraan.

"Ah entahlah, Ummi. Tidak wajib juga kok. Hanya opsional saja. Dari pada buang waktu buat magang, mendingan Syifa fokus sama tugas-tugas duta mahasiswa dan tambah portofolio publikasi artikel ilmiah."

Sesaat Abi Assegaf dan Arlita berpandangan. Putri mereka mengutamakan keseimbangan. Prestasi akademik yes, prestasi pageants yes. Jarang sekali ada tipe mahasiswa seperti itu. Smart, brilian, dan good looking.

"Putri Abi sudah dewasa. Sudah pintar membuat pilihan," puji Abi Assegaf. Mengecup lembut puncak kepala Syifa.

Kecupan hangat Abi Assegaf disambuti desahan manja. Gadis cantik itu merapatkan tubuh pada Abinya, memeluknya erat.

Hangat hati Arlita melihatnya. Dulu, ia lama terpisah dengan Abi Assegaf. Kini, kepingan-kepingan puzzle keluarganya kembali tersusun utuh. Nikmat manakah yang Arlita dustakan?

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun