Secepat apa pun gerakan tangannya mengolah bahan makanan, ternyata ia ketahuan juga. Kali ini bukan karena ulah para pelayan, melainkan...
"Sekarang saya tahu siapa yang menyiapkan lunchbox untuk Syifa setiap hari."
Si perawat misterius terperangah. Abi Assegaf telah berdiri di sampingnya. Senyum tipis merekah di wajah pucat itu. Cepat-cepat diletakkannya pisau dan potongan wortel.
"Tuan Assegaf, sebaiknya Anda istirahat..." kata si perawat tampan dengan nada gugup.
"Syifa harus berterima kasih padamu, Gabriel."
Perawat berhati malaikat itu menunduk, memain-mainkan apronnya. Ia resah. Tak ingin Syifa tahu.
"Anak-anakku paham ilmu berterima kasih."
Makin resah Gabriel karenanya. Rasa tidak nyaman membanjiri hati. Haruskah setiap kasih dan kebaikan diketahui penerimanya?
"Tuan, saya mohon jangan beri tahu Nona Syifa." Gabriel memohon, lirih.
Abi Assegaf menggeleng tegas. Berbalik, lalu berjalan ke pintu. Gabriel kembali menghadapi segunung sayuran yang belum dipotongnya. Hatinya melagukan doa, berharap Syifa tak perlu tahu.
Beberapa menit kemudian, apa yang ditakutkannya terjadi. Gadis cantik itu turun ke dapur. Matanya berbinar bahagia, wajahnya bercahaya. Terkagum-kagum dia melihat apa yang dilakukan perawat misterius itu.
"Oh, jadi kamu yang membuatkanku bekal makan siang tiap hari?" desahnya.
Mau tak mau Gabriel mengangguk. Kemuraman menyelimuti wajah tampannya. Berbanding terbalik dengan Syifa. Ia begitu excited.
Sejurus kemudian, Syifa melangkah ke samping Gabriel. Memperhatikan gerakan tangannya, menatapi wajahnya. Setiap gerakan Gabriel tak luput dari radar penglihatan. Rasa kagum kian buncah. Ternyata perawat satu itu pintar juga menyenangkan hati orang lain.
Syifa yakin, yakin seyakin-yakinnya bila perawat berpostur tinggi dengan bentuk tubuh berisi itu memasak karena cinta. Lihat saja pancaran matanya selama memasak. Lihat saja sabarnya ia saat menunggu nasi matang, mencetaknya, menanti gelegak saus dari campuran kecap Inggris itu menggelegak di panci...semuanya dia lakukan dengan sabar. Gabriel memasak tanpa marah dan emosi negatif. Bila memasak tanpa emosi negatif, hasilnya pun akan enak.
Enam pelayan menyingkir. Mereka tahu diri. Mereka lihat saja dari kejauhan. Kekaguman yang sama membasahi hati. Ingin rasanya memasak setulus itu. Lihatlah, bahkan memasak pun harus tulus dari hati.
Tatapan kagum Syifa membakar kecemburuan Adica. Jangan kira ia tidak lihat. Violinis itu terprovokasi rasa cemburu. Love is never without jealousy.
** Â Â
Aku sadar kalau kini
Kita sudah semakin menjauh
Sempat aku berpikir
Ini kau yang menginginkannya
Lepas dari pelukku
Kini aku sadari
Ini salahku
Tak ingin ku terlambat dan sesali
Maafkanlah bila ku selalu
Membuatmu marah dan benci padaku
Kulakukan itu semua
Hanya untuk buatmu bahagia
Mungkin ku Cuma tak bisa pahami
Bagaimana cara tunjukkan maksudku
Aku Cuma ingin jadi
Terbaik untukmu (Tangga-Terbaik Untukmu).
** Â Â
Dalam satu gerakan cepat, Adica merebut pisau dari tangan Gabriel. Dibantingnya pisau ke meja.
"Apa maksudmu, Gabriel Purnama Sutanto? Mau merebut belahan jiwaku?" tanyanya, angkuh dan dingin.
Tidak, sama sekali tak ada niatan begitu. Gabriel tertunduk dalam. Bibirnya terkatup rapat tanpa suara. Adica memberinya tatapan intimidatif.
"Kau tahu? Di sini apa tugasmu? Apakah memasak dengan cinta untuk Syifa bagian dari tugas?"
Syifa memegang erat pergelangan tangan Adica. Berbisik menyabarkan. Sakit rasanya jadi Gabriel. Ketulusan disalahpahami. Sebagai wanita, perasaan Syifa jauh lebih peka. Dia tahu, Gabriel tulus melakukan itu untuknya. Kini terungkap sudah alasan Gabriel datang dua jam lebih awal setiap pagi. Semata demi memasakkan sesuatu untuknya.
"Syifa, bagaimana aku bisa sabar? Dia sudah kelewatan!" Nada suara si penyiar Refrain naik satu oktaf.
"Jangan salahkan Gabriel! Dia hanya bermaksud baik! Dia memahami keinginanku yang rindu masakan rumah! Memangnya siapa yang bisa membuatkannya untukku tiap hari?! Abi sakit, Ummi sibuk, kau tak bisa masak!"
Tiga kata terakhir serasa menyudutkan pemuda orientalis itu. Dia tidak bisa memasak. Itu benar. Sebab, baginya memasak masih jadi pekerjaan aneh untuk pria. Sebuah pandangan konservatif.
"Kenapa tidak kau sendiri saja yang melakukannya?!"
Sejenak Syifa terdiam. Dua titik kristal bening bergelayut di pelupuk mata. Adica mendesah tak sabar. Menangis, senjata wanita untuk melumpuhkan pria. Tangisan jadi modus wanita untuk bertingkah semaunya.
"Kau tidak mengerti! Aku rindu diperhatikan, disayangi, dan dicintai!" Syifa setengah terisak.
Kilat kemarahan terlihat di mata Adica. "Masih kurangkah perhatian dan kasih sayangku?"
"Bukan seperti itu yang kuinginkan! Kau memanjakanku dengan perlakuan dan hadiah-hadiah mahal, tapi kau selalu mengukur perhatian dari segi materi! Kau tak pernah mau repot-repot membuatkan sesuatu untukku dari tanganmu sendiri!"
Pecah sudah. Pecahlah gelembung-gelembung kekecewaan. Mendengar itu, Adica dan Gabriel terenyak. Syifa menginginkan proses. Lesap kecintaannya pada barang-barang duniawi bermerk ternama. Dia rindu perhatian nyata, perhatian yang tak bisa dibeli dengan materi.
Gabriel tak tega, sungguh tak tega melihat wanita menangis. Tak pernah terpikir olehnya untuk mencurigai tangisan sebagai senjata wanita. Di mata Gabriel, menangis tanda kelembutan hati. Air mata adalah ekspresi manusiawi yang nyata. Air mata tak hanya milik wanita, tetapi juga pria.
"Nona Syifa...jangan sedih ya. Saya selesaikan ini dulu. Nanti Nona Syifa bisa membawanya." ujar Gabriel lembut.
"Tidak usah!" sela Adica marah.
"Kularang kau membuatkan bekal untuk Syifa!"
"Apa hakmu melarang Gabriel? Memangnya kau bisa membuatkannya untukku?"
Di luar dugaan, Syifa balas berteriak. Kristal-kristal bening yang menjatuhi pipinya bukan lagi karena kesedihan. Tapi karena amarah dan kecewa.
Adica membeku di tempatnya berdiri. Sepenting itukah Gabriel di mata Syifa? Sampai-sampai gadis itu melupakan dirinya. Melupakan hari-hari indah bersamanya. Padahal Gabriel hanya perawat, hanya orang biasa. Namun, benarkah Gabriel hanya orang biasa?
** Â Â
Porche 911 itu berhenti di tepi pantai. Sesosok pria gemuk berkulit putih turun dari mobil. Ia menoleh ke kanan-kiri, mencari seseorang.
Pantai begitu sepi. Musim liburan telah lewat. Anak-anak nelayan pun kembali bersekolah. Pagi begini, serasa berada di pantai pribadi.
Pasir berbisik. Laut bernyanyi. Ombak mendesis. Si pria baya menunggu dengan sabar. Sekali-dua kali dia berlutut, membuat istana pasir. Tak peduli jas Armaninya kotor.
Setengah jam berselang, wanita tua dengan rambut digelung ketat melangkah melewati bentangan pasir. Dihampirinya pria rasa jet set itu. Terbata ia meminta maaf karena membuat si pria lama menunggu.
"Kau tahu perawat pengganti itu?"
"Yang mana, Tuan?"
"Yang tubuhnya tinggi, kulitnya putih, kepalanya botak. Dia tampan..."
"Ah, iya. Gabriel kan? Kenapa, Tuan?"
Si pria jet set menyodorkan kamera. Mengajari perempuan berdaster kelabu itu cara menggunakannya. Diberikannya amplop tebal dan instruksi-instruksi. Si perempuan mengangguk, lalu berjalan pergi.
Dia kembali sendiri. Selesai mengukir istana pasir, pria itu beranjak ke mobilnya. Bersandar di kap mobil, menatap hampa langit seputih mutiara.
"Gabriel Purnama Sutanto...sampai kapan kau akan begini? Itu berbahaya untukmu, Nak." desahnya masygul.
** Â Â
Gabriel merawat Abi Assegaf dengan sedih. Abi Assegaf berulang kali meyakinkannya jika dia tak bersalah. Ayah dua anak itu bahkan berterima kasih pada Gabriel.
"Terima kasih..." bisik Syifa, pelan membuka lunchboxnya.
Lagi-lagi dia temukan sajian bento yang cantik. Bento yang tak pernah didapatnya dari Abi Assegaf, Arlita, dan Adica.
"Anak saya itu memang pencemburu. Tapi percayalah, dia sangat baik."
Begitu sayangnya Abi Assegaf pada Adica. Sekalipun telah berbuat kesalahan, pemuda itu tetap dibelanya.
Gabriel mengangguk paham. Ya, ia pun tahu Adica orang baik. Orang baik yang telah melukainya berkali-kali.
Kali ini, segunung rasa sedih bercampur rindu dan haru tertumpah di hati Syifa. Gabriel telah memberikan apa yang dia mau. Siapakah Gabriel sebenarnya?
Syifa memakan bekalnya dengan air mata meleleh. Ia serasa mengenali perawat misterius berhati malaikat itu.
"Kau seperti malaikat di rumah ini, Gabriel. Malaikat yang memberi dan melayani setulus hati." ungkap Abi Assegaf penuh kelembutan.
"Saya hanya orang biasa, Tuan. Tapi...mungkin saya takkan lama lagi bekerja di sini."
Mengapa? Mengapa harus Gabriel yang memenuhi kerinduannya? Biar pun anggota caregiver team, Syifa tetaplah manusia biasa. Manusia yang butuh diperhatikan, disayangi, dan dicintai.
"Saya takut merusak cinta Tuan Adica dan Nona Syifa." jelas Gabriel sedih.
Abi Assegaf pelan menepuk punggungnya. "Tidak, sama sekali tidak. Adica dan Syifa tidak sechildish itu mengakhiri cinta mereka hanya karena lunchbox."
Tak sempat Gabriel menanggapi. Tetiba lensa kontaknya tersangkut. Melihat itu, Abi Assegaf memaksakan diri bangun dari ranjang. Dicobanya mengangkat lensa kontak yang tersangkut itu. Berhasil, lensa kontak terangkat, dan...
Pertama kali. Sungguh, untuk pertama kalinya Abi Assegaf melihat mata Gabriel. Sepasang mata sipit bening menenangkan. Sepasang mata sipit yang sangat dikenalinya. Inilah sosok yang disebut malaikat tampan bermata sipit kesayangan Silvi. Jadi, yang merawatnya selama ini tak lain adalah.....................................
** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H