"Kenapa tidak kau sendiri saja yang melakukannya?!"
Sejenak Syifa terdiam. Dua titik kristal bening bergelayut di pelupuk mata. Adica mendesah tak sabar. Menangis, senjata wanita untuk melumpuhkan pria. Tangisan jadi modus wanita untuk bertingkah semaunya.
"Kau tidak mengerti! Aku rindu diperhatikan, disayangi, dan dicintai!" Syifa setengah terisak.
Kilat kemarahan terlihat di mata Adica. "Masih kurangkah perhatian dan kasih sayangku?"
"Bukan seperti itu yang kuinginkan! Kau memanjakanku dengan perlakuan dan hadiah-hadiah mahal, tapi kau selalu mengukur perhatian dari segi materi! Kau tak pernah mau repot-repot membuatkan sesuatu untukku dari tanganmu sendiri!"
Pecah sudah. Pecahlah gelembung-gelembung kekecewaan. Mendengar itu, Adica dan Gabriel terenyak. Syifa menginginkan proses. Lesap kecintaannya pada barang-barang duniawi bermerk ternama. Dia rindu perhatian nyata, perhatian yang tak bisa dibeli dengan materi.
Gabriel tak tega, sungguh tak tega melihat wanita menangis. Tak pernah terpikir olehnya untuk mencurigai tangisan sebagai senjata wanita. Di mata Gabriel, menangis tanda kelembutan hati. Air mata adalah ekspresi manusiawi yang nyata. Air mata tak hanya milik wanita, tetapi juga pria.
"Nona Syifa...jangan sedih ya. Saya selesaikan ini dulu. Nanti Nona Syifa bisa membawanya." ujar Gabriel lembut.
"Tidak usah!" sela Adica marah.
"Kularang kau membuatkan bekal untuk Syifa!"
"Apa hakmu melarang Gabriel? Memangnya kau bisa membuatkannya untukku?"