Durasi kerjanya sembilan jam. Mulai jam delapan pagi hingga jam lima sore. Namun, Gabriel sudah tiba di rumah mewah tepi pantai sejak pukul enam pagi.
Diam-diam ia memasakkan bekal makan siang untuk Syifa. Pagi ini, ia membuatkan chicken teriyaki untuk gadis itu. Gabriel memasukkan lunchbox berisi masakannya ke dalam tas Syifa. Ia hafal koleksi tas yang dipakai Syifa tiap hari. Tak mungkin keliru.
Selesai memasak, Gabriel bergegas ke halaman. Ia memotong rumput tanpa diminta. Menggunting mawar, menebar pupuk pada tanaman-tanaman hias lainnya. Saat menyiram bunga lily putih, ia terkejut mendapati sejumlah kutu putih di atas kelopak bunga. Ternyata bunga lily kesayangan Arlita sakit. Tergesa ia kembali ke dapur. Mengambil air bekas cucian piring, lalu menyemprotkannya pada kutu-kutu putih pembawa penyakit itu. Sambil melakukannya, Gabriel berdoa agar bunga lily terbebas dari penyakit tanaman dan tumbuh subur.
Kesibukannya merawat tanaman terusik oleh dentaman bola basket. Gabriel berpaling. Di halaman belakang, dilihatnya Deddy tengah bermain basket sendirian. Tubuh boleh tergerus usia, tetapi bakatnya tetap mengagumkan. Teknik shoot, pivot, dan lay upnya bagus sekali. Deddy membuat tembakan-tembakan indah ke dalam ring.
"Mau main basket denganku, Gabriel?"
Gabriel tersentak kaget mendengar tawaran Deddy. Dengan ragu, ia menerima bola basket lalu mulai mendribelnya. Sudah lama sekali ia tak bermain basket. Sejak rentetan peristiwa mengubah hidupnya. Deddy bertepuk tangan dan memuji saat bolanya menyentuh area three point.
"Aku minta maaf karena kasar padamu tempo hari." kata Deddy tetiba.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Tuan." balas Gabriel.
"Kamu tahu? Dulunya aku guru Sekolah Minggu. Setelah puja bakti, aku mengajar anak-anak mengenal Tuhannya." Deddy mulai bercerita. Gabriel sabar mendengarkan.
"Assegaf mengenalkanku pada Islam. Hatiku tergerak. Aku berpindah keyakinan. Sikap teman-temanku berubah. Mereka menjauhiku, tidak menghargai pilihanku, dan memberiku sanksi sosial. Aku tak habis pikir dengan mereka. Mereka selalu berteriak-teriak menuntut toleransi pada mayoritas, tapi mereka sendiri tidak bisa toleran."
Tak ada jawaban. Gabriel hanya jadi pendengar.
"Saat bulan Ramadhan tiba, mereka sengaja makan di depanku. Mereka mengirimkan foto-foto sajian menu daging babi, mengataiku bodoh karena tak bisa makan enak lagi. Aku menyesali sikap mereka. Go to hell to intolerance people."
Bungsu keluarga Riantama itu memperhatikan ekspresi wajah Gabriel. Rona wajahnya tenang, sabar, santun menyenangkan. Tak menyela, tak juga menunjukkan tanda-tanda bosan mendengarkannya.
"Well, kau lembut sekali. Sabar dan telaten. Cocok merawat Assegaf. Orang tuamu beruntung memilikimu. Apa panggilanmu di rumah? Sebenarnya, aku ingin kamu lepas lensa kontakmu."
Sesaat Gabriel terperangah. Rasa gelisah naik ke hatinya.
** Â Â
Manakala hati menggeliat
Mengusik renungan
Mengulang kenangan
Saat cinta menemui cinta
Suara sang malam dan siang
Seakan berlaku
Dapat aku dengar rindumu
Memanggil namaku
Saat aku tak lagi di sisimu
Kutunggu kau di keabadian
Aku tak pernah pergi
Selalu ada di hatimu
Kau tak pernah jauh
Selalu ada di dalam hatiku
Sukmaku berteriak menegaskan
Ku cinta padamu
Terima kasih pada Maha Cinta
Menyatukan kita
Saat aku tak lagi di sisimu
Kutunggu kau di keabadian
Cinta kita melukiskan sejarah
Menguraikan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu
Cinta kita sejati (Bunga Citra Lestari-Cinta Sejati).
Denting lembut piano terdengar dari ruang keluarga. Suara merdu Arlita menyanyikan lirik lagu. Gabriel mempercepat langkah, tak enak berlama-lama di dekat Deddy.
Pelan dibukanya pintu ruang keluarga. Pandangannya tertuju ke arah Arlita dan Abi Assegaf. Mereka berdua duduk bersisian di depan grand piano. Jemari tangan mereka bertautan.
Tak ingin mengganggu mereka, Gabriel berdiri saja di ambang pintu. Tersenyum memandangi Tuan dan Nyonyanya. Abi Assegaf memberi pelukan singkat pada sang istri. Lembut mengecup kedua pipinya.
"Kemarilah, Gabriel." panggil Abi Assegaf, melambaikan tangannya.
Pria berpakaian putih itu menurut, duduk berhadapan dengan Abi Assegaf dan Arlita. Abi Assegaf menatapnya lekat.
"Ada yang membuatmu khawatir?"
"Tuan Deddy meminta saya melepas lensa kontak."
Mendengar itu, Abi Assegaf dan Arlita bertukar pandang. Arlita menghela nafas, lalu berujar.
"Terus terang saya juga ingin kamu melepasnya, Gabriel. Tak tahu kenapa, saya penasaran."
Elastik ketakutan memukul-mukul hati Gabriel. Mengapa seisi rumah ini sepertinya penasaran padanya? Ingin sekali melihat matanya yang asli. Gabriel tak nyaman, sungguh tak nyaman.
Abi Assegaf menyikut Arlita. Berbisik memperingatkan. Lembut diyakinkannya Gabriel bila ia tak perlu melepas kontaknya. Gabriel tidak perlu menanggapi serius keinginan Deddy dan Arlita.
Dari lantai atas, terdengar suara lembut Syifa menyenandungkan Beautiful Morningnya Ace of Base. Tak lama, gadis itu turun ke lantai bawah.
"Pagi, Abi. Pagi, Ummi." sapanya riang. Bergantian mencium pipi keduanya.
Melihat kehadiran Gabriel, Syifa menoleh dan tersenyum. "Aku senang sekali pagi ini. Ada lunchbox di tasku. Aku penasaran siapa yang membuatkannya. Kalau aku tahu siapa orangnya, akan kupeluk dia."
Gugupkah Gabriel mendengarnya? Tidak, ia luar biasa tenang. Sebaliknya, Abi Assegaf dan Arlita yang terlihat tak enak hati.
"Maaf ya, Sayang. Ummi belum punya waktu. Ummi belum bisa memuaskan kerinduanmu." Arlita pelan meminta maaf.
** Â Â
Derit roda-roda kursi menggelinding di sepanjang paving block. Samar terdengar suara anak-anak bermain dan berkejaran. Hantaman bola beradu, disusul derap langkah kaki.
Indahnya masa kecil. Ingin sekali mengulangnya lagi. Saat masih kecil, tak perlu memikirkan hitam-putih dunia. Hidup terasa indah dan membahagiakan. Semakin lama seseorang meninggalkan masa kecil, semakin banyak ia dihadapkan pada kelamnya hidup.
Ke taman kota itulah Gabriel membawa Abi Assegaf berjalan-jalan. Sejenak mencari suasana baru. Agak jauh dari tepi pantai.
Sejak kemo keenam, Abi Assegaf mulai tertekan. Dia menginginkan suasana baru. Obat penyembuh rasa sakitnya. Gabriel menemani dan menguatkan tuannya dengan sabar.
Salah seorang anak terjatuh dari ayunan. Ia terluka. Suara tangisnya membelah kedamaian taman. Abi Assegaf menatap iba. Dia berusaha bangkit dari kursi rodanya, ingin menolong anak itu. Namun tak bisa.
"Biar saya saja, Tuan. Tunggu sebentar."
Gabriel berlari menghampiri anak itu. Menggendongnya, mendudukkannya di bangku taman, dan mengobati lukanya. Semua yang dilakukan Gabriel tak luput dari radar pandangan mata Abi Assegaf.
Perasaan tak berguna menginvasi pikiran. Ya, Allah, apa gunanya lagi ia hidup? Hanya menyusahkan orang lain. Menolong anak kecil saja tak bisa.
Selesai mengobati luka anak itu, Gabriel kembali ke sisi Abi Assegaf. Hatinya diliputi tanda tanya melihat wajah pucat dan sedih tuan yang dirawatnya.
"Ada apa, Tuan Assegaf?" tanya Gabriel penuh perhatian.
"Gabriel, keterbatasan ini membuat saya tak berguna..." lirih Abi Assegaf.
"Mengapa Tuan berkata begitu?"
"Saya tidak bisa membantu anak kecil itu. Semuanya telah berubah."
Abi Assegaf menyeka matanya. "Dulu, saya merawat anak-anak saya. Sekarang, merekalah yang direpotkan oleh kehadiran saya. Mungkin kematian lebih baik, Gabriel."
Tersentuh hati Gabriel. Dalam keadaan sakit, sosok ayah ideal satu ini masih memikirkan orang lain. Bahkan dia lebih memilih mati dari pada menyusahkan kedua permata hatinya.
"Semua ada waktunya, Tuan. Waktu untuk memperhatikan orang lain, waktu untuk istirahat, waktu untuk fokus pada diri sendiri, dan waktu untuk meninggalkan kehidupan dunia. Sekarang Tuhan memberi Tuan Assegaf waktu untuk beristirahat. Tuhan memberi waktu pada orang-orang yang mencintai Tuan untuk membuktikan cintanya. Saya rasa, Tuan tidak perlu merasa bersalah. Cukup jalani saja peran yang ada. Semua orang punya perannya masing-masing, Tuan."
Lembut, lembut sekali Gabriel memotivasi Abi Assegaf. Ia menjalankan perannya dengan baik. Gabriel seperti malaikat yang turun dalam kehidupan keluarga Assegaf. Secara implisit, diyakinkannya Abi Assegaf untuk mencintai dirinya sendiri. Mencintai kehidupannya yang kini berubah.
** Â Â
Senja menyambut malam ketika Gabriel menyudahi tugasnya. Ia melangkah menyusuri tepi pantai. Tubuhnya penat, namun hatinya bahagia. Bahagia bisa melayani dan mengasihi.
Baru beberapa langkah, rasa sakit menusuk-nusuk punggungnya. Gabriel membungkuk, menahan sakit. Pantai itu sepi, sempurna sepi. Hanya Allah, para malaikat, pasir putih, dan laut yang menyaksikan ketegaran perawat misterius berhati malaikat itu.
Strugle of life. Jangan kira hanya Abi Assegaf yang merasakannya. Susah payah Gabriel menegakkan kembali tubuhnya dan memaksakan diri terus berjalan. Ia harus bisa...harus.
Ingatannya melayang pada kenekatan bermain basket pagi tadi. Seakan dihitung mundur, ia juga teringat momen beberapa waktu lalu. Saat ketidakberdayaannya memberikan darah untuk Abi Assegaf.
Sepasang mata sipit mengawasi sembunyi-sembunyi dari balik pekatnya malam. Sosok pemilik mata itu mengikuti Gabriel sejak tadi. Ia rasakan ada yang tidak beres pada perawat kesayangan Abinya itu.
Benar asumsinya. Mengapa Gabriel menahan sakit? Adica ingin menolongnya, atau setidaknya mengantarnya pulang. Tapi...
Sebuah mobil putih meluncur ke tepi pantai. Berhenti tepat di samping Gabriel, pintunya terbuka.
"El..." panggil sosok pengemudi, wajahnya tak kelihatan jelas.
Ia turun, lalu memapah si perawat tampan. Pintu mobil menutup.
Adica tak sempat mengejar. Mobil itu keburu pergi. Siapakah Gabriel sebenarnya?
"Aku sehat..." Gabriel bergumam. Suaranya melemah, lalu ia terbatuk beberapa kali.
"Sehat bagaimana, El? Bodoh sekali kamu! Jangan mau diperbudak keluarga Assegaf!"
Gabriel memejamkan mata. Nyaris tak mendengarkan pengemudi mobil menjelek-jelekkan keluarga Assegaf. Pelan diteguknya air putih. Suara si pengemudi kembali menyita atensi.
"El, kenapa kau diam saja? Mana yang sakit?"
"Jangan khawatirkan aku. Aku hanya sedang bertanya-tanya. Besok pagi, masih bisakah aku memasakkan sesuatu untuk Syifa dan merawat Tuan Assegaf?"
Jawaban tulus, sangat tulus. Di saat seperti ini, selalu saja Gabriel memikirkan orang lain. Bukan dirinya sendiri.
"Malaikat absurd," maki si pengemudi dengan suara rendah.
"Aku bukan malaikat. Mana ada malaikat yang punya riwayat penyakit..."
Selimut hitam sang malam sempurna menutup langit. Kelam sekelam episode demi episode kehidupan yang harus dijalani namun tetap dicintai.
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H