Melihat kehadiran Gabriel, Syifa menoleh dan tersenyum. "Aku senang sekali pagi ini. Ada lunchbox di tasku. Aku penasaran siapa yang membuatkannya. Kalau aku tahu siapa orangnya, akan kupeluk dia."
Gugupkah Gabriel mendengarnya? Tidak, ia luar biasa tenang. Sebaliknya, Abi Assegaf dan Arlita yang terlihat tak enak hati.
"Maaf ya, Sayang. Ummi belum punya waktu. Ummi belum bisa memuaskan kerinduanmu." Arlita pelan meminta maaf.
** Â Â
Derit roda-roda kursi menggelinding di sepanjang paving block. Samar terdengar suara anak-anak bermain dan berkejaran. Hantaman bola beradu, disusul derap langkah kaki.
Indahnya masa kecil. Ingin sekali mengulangnya lagi. Saat masih kecil, tak perlu memikirkan hitam-putih dunia. Hidup terasa indah dan membahagiakan. Semakin lama seseorang meninggalkan masa kecil, semakin banyak ia dihadapkan pada kelamnya hidup.
Ke taman kota itulah Gabriel membawa Abi Assegaf berjalan-jalan. Sejenak mencari suasana baru. Agak jauh dari tepi pantai.
Sejak kemo keenam, Abi Assegaf mulai tertekan. Dia menginginkan suasana baru. Obat penyembuh rasa sakitnya. Gabriel menemani dan menguatkan tuannya dengan sabar.
Salah seorang anak terjatuh dari ayunan. Ia terluka. Suara tangisnya membelah kedamaian taman. Abi Assegaf menatap iba. Dia berusaha bangkit dari kursi rodanya, ingin menolong anak itu. Namun tak bisa.
"Biar saya saja, Tuan. Tunggu sebentar."
Gabriel berlari menghampiri anak itu. Menggendongnya, mendudukkannya di bangku taman, dan mengobati lukanya. Semua yang dilakukan Gabriel tak luput dari radar pandangan mata Abi Assegaf.