Perasaan tak berguna menginvasi pikiran. Ya, Allah, apa gunanya lagi ia hidup? Hanya menyusahkan orang lain. Menolong anak kecil saja tak bisa.
Selesai mengobati luka anak itu, Gabriel kembali ke sisi Abi Assegaf. Hatinya diliputi tanda tanya melihat wajah pucat dan sedih tuan yang dirawatnya.
"Ada apa, Tuan Assegaf?" tanya Gabriel penuh perhatian.
"Gabriel, keterbatasan ini membuat saya tak berguna..." lirih Abi Assegaf.
"Mengapa Tuan berkata begitu?"
"Saya tidak bisa membantu anak kecil itu. Semuanya telah berubah."
Abi Assegaf menyeka matanya. "Dulu, saya merawat anak-anak saya. Sekarang, merekalah yang direpotkan oleh kehadiran saya. Mungkin kematian lebih baik, Gabriel."
Tersentuh hati Gabriel. Dalam keadaan sakit, sosok ayah ideal satu ini masih memikirkan orang lain. Bahkan dia lebih memilih mati dari pada menyusahkan kedua permata hatinya.
"Semua ada waktunya, Tuan. Waktu untuk memperhatikan orang lain, waktu untuk istirahat, waktu untuk fokus pada diri sendiri, dan waktu untuk meninggalkan kehidupan dunia. Sekarang Tuhan memberi Tuan Assegaf waktu untuk beristirahat. Tuhan memberi waktu pada orang-orang yang mencintai Tuan untuk membuktikan cintanya. Saya rasa, Tuan tidak perlu merasa bersalah. Cukup jalani saja peran yang ada. Semua orang punya perannya masing-masing, Tuan."
Lembut, lembut sekali Gabriel memotivasi Abi Assegaf. Ia menjalankan perannya dengan baik. Gabriel seperti malaikat yang turun dalam kehidupan keluarga Assegaf. Secara implisit, diyakinkannya Abi Assegaf untuk mencintai dirinya sendiri. Mencintai kehidupannya yang kini berubah.
** Â Â