Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Harmoni Cinta

6 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 6 Januari 2019   07:50 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesosok mayat ditemukan di halaman belakang Refrain Radio. Penemuan menggemparkan. Baru kali pertama kantor mereka kedapatan mayat.

Bukan, bukan mayat biasa. Melainkan mayat salah satu cleaning service. Segera saja seluruh karyawan Refrain datang ke kantor. Mengabaikan fakta bila hari ini Hari Minggu.

Tak ada sesuatu terjadi karena kebetulan. Bukan kebetulan ketika pagi itu Arlita melintas di depan studio. Ia sedang dalam perjalanan ke rumah teman lamanya. Arlita menyetir sendirian. Tanpa Abi Assegaf, tanpa kedua anaknya.

Melihat keramaian tak biasa di halaman, Arlita segera memarkir sedannya. Ia turun dari mobil. Berlari menerobos kerumunan staf.

"Ada apa ini? Ada apa?" tanyanya.

"Arlita, ada mayat."

"Mayat siapa...Astaghfirullah al-azhim."

Tubuh Arlita lemas. Wajahnya pias. Tulang-tulangnya seolah ikut terlepas.

Tepat di depan mata, teronggok mayat cleaning service itu. Pekerja yang telah setia untuk suaminya selama bertahun-tahun ini. Arlita menutup wajah dengan tangan gemetar. Setelah menguasai diri, ia bertanya.

"Apa Assegaf sudah tahu?"

"Belum. Kami tidak tahu bagaimana memberi tahunya."

Semesta nampaknya tak berpihak. iPhone Arlita mati. Ia lupa membawa charger dan power bank. Tak kehabisan akal, wanita cantik dengan tinggi 165 senti itu berlari ke dalam kantor. Ia mengangkat pesawat telepon. Menekan sejumlah nomor, lalu menempelkan gagang telepon ke telinganya.

Hatinya berdebar-debar. Amat berharap Assegaf cepat menjawab telepon. Urgen, sangat urgen.

"Assegaf..." desah Arlita dengan nafas memburu.

"Ada apa, Arlita?"

"Cleaning service di radio kita meninggal."

**    


Ada yang bergerak

Di dalam dadaku ini

Seperti kukenal

Pernah kurasakan

Waktu aku jatuh cinta

Waktu hatiku tertarik

Rasanya pun begini jatuh cinta

Apakah ini sama seperti yang itu

Hatiku bergerak aku jatuh cinta

Dinding hatiku berlagu

Harmoni cinta menyentuh

Pipiku pun merona jatuh cinta

Harmoni cintaku kini datang

Nyanyikan suara hatiku

Berlagu penuh cinta (Gita Guttawa-Harmoni Cinta).

**    

Harmoni cinta begitu terasa di Refrain Radio. Tak ada sekat perbedaan, tak ada kelas sosial yang memisahkan. Lihatlah bagaimana mereka memperlakukan jenazah cleaning service itu.

Deddy mendesah tak sabar. Pelan meletakkan telepon. Dia sudah berkali-kali mengontak pihak keluarga si cleaning service. Keluarga jauh tepatnya, karena almarhum tinggal sendirian semasa hidupnya.

"Bagaimana, Deddy?" tanya Arlita dalam bisikan.

"Keluarga tolol. Teleponnya tak diangkat." geram Deddy kasar.

Sasmita menengahi. Meminta Deddy jangan emosi. Para karyawan yang lain bergerak setulus hati. Mengangkat jenazah, membaringkannya di meja.

Tak lama, Abi Assegaf tiba. Arlita menghambur ke plukan suaminya. Abi Assegaf balas memeluk sang istri penuh cinta. Pria tampan itu telah mengenakan jas dan dasi hitam. Style berpakaiannya tiap kali menghadiri acara pemakaman.

"Kita semayamkan jenazahnya di Refrain," Abi Assegaf memutuskan, nadanya tegas dan berwibawa.

Deddy, Sasmita, Arlita, dan seluruh karyawan mengangguk setuju. Bukan karena tak ada pilihan. Bukan karena paksaan. Mereka tulus melakukannya. Tulus karena kasih.

"Oh Assegaf Sayang, kau sepemikiran denganku. Dimana anak-anak kita? Kenapa mereka tidak diberi tahu?" Arlita bergumam lirih, matanya berkaca-kaca.

"Di sini, Ummi."

Adica dan Syifa muncul dari balik pintu. Keduanya berpakaian serba hitam. Arlita menatap malu refleksi dirinya di cermin yang melingkupi dinding kaca. Bajunya terlalu ceria. Tak pantas untuk acara duka.

Seakan membaca pikiran istrinya, Abi Assegaf memegang lembut tangan Arlita. "Kuberi kau setengah jam untuk mencari baju hitam, Arlita. Pergilah."

Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Arlita bergegas pergi. Beberapa blok dari Refrain Radio, terdapat sebuah butik. Arlita berharap bisa menemukan dress hitam di sana.

Para karyawan mulai berbagi tugas. Ada yang mengambilkan kursi-kursi, menghubungi ambulans, menyiapkan makam, mengontak pemuka agama, membeli kain kafan, dan menyusun acara tahlil. Beberapa yang belum kebagian tugas membacakan Yasin. Penyiar yang bertugas pagi itu mengumumkan kabar duka, meminta pendengar Refrain ikut berdoa untuk cleaning service mereka.

Menyiapkan upacara kematian tidak berat bila dilakukan bersama-sama. Beban terasa ringan. Hati ikhlas penuh ketulusan. Walau bukan keluarga, bukan pasangan, bukan orang yang memiliki ikatan darah. Ikatan kasih sayang dan kekeluargaan mengakar di Refrain Radio.

Para karyawan tetiba kebingungan. Siapa yang akan memandikan jenazah? Rerata dari mereka tak sanggup melakukannya. Terlalu berat, mereka takut. Setahu mereka, hanya Deddy, Sasmita, dan Abi Assegaf yang bisa. Bila Abi Assegaf yang melakukan, jelas riskan. Ia tengah sakit. Datang ke Refrain pun memaksakan diri. Deddy mengurusi pemakaman. Sasmita mendatangi Abahnya untuk minta kesediaannya berdoa di pemakaman nanti.

"Siapa yang akan memandikan jasad almarhum?" bisik mereka tegang.

"Biar saya saja."

Sebuah suara bass bertimbre berat dan empuk mengurai kebingungan. Calvin datang bagai malaikat. Ia hadir kala situasi tak menentu dan tanpa harapan.

"Calvin...Calvin Sayang, kamu yakin?" tanya Abi Assegaf lembut.

"Yakin, Abi. Saya pernah memandikan dan merawat jenazah Opa."

"Aku juga."

Tanpa diduga, Adica bangkit dari kursinya. Menatap Calvin dengan tatapan paling sombong yang dimilikinya, dia berujar.

"Aku memandikan jenazah Papa Michael Wirawan sebelum dimakamkan."

Lekat Abi Assegaf menatap kedua pemuda itu. Pertanda bagus, bisik hatinya. Kakak-beradik itu mau tak mau harus bekerjasama.

**    

"Nawaitu gausla adaa'an haa-dzal mayyiti lillahi ta'alla."

Calvin membaca niat, memakai sarung tangan, lalu memulai tugasnya. Disambuti tatapan angkuh Adica.

"Tak perlu membaca niat keras-keras!" sergahnya kasar.

Tetap diam dan tenang, itulah yang dilakukan Calvin. Ia fokus pada jenazah di depannya.

"Tolong letakkan tangan kanan dan kirimu untuk menopang tubuhnya, Adica. Aku yang akan bersihkan." pinta Calvin lembut.

"Berani kau menyuruh-nyuruhku!" Mata Adica menyipit curiga, namun ia tetap melakukan perintah itu.

Dengan lembut, Calvin membersihkan tubuh si jenazah. Membersihkan mulut dan hidungnya, mewudlukannya, dan membasuh kepalanya dengan sabun. Pelan-pelan ia menyisir rambut pendek gelap milik si cleaning service malang, lalu merapikannya.

Mereka bekerja dalam diam. Sekali-dua kali Calvin melempar pandang rindu ke arah adiknya. Baru kali ini ia berdua saja dengan sang adik. Rasa rindu bercampur kasih sayang mengaliri hati.

"Adica, kau tahu...aku sangat menyayangimu." kata Calvin, lembut dan tulus.

Adica tersenyum sinis. "Memangnya aku peduli?"

"Aku akan selalu peduli padamu. Meski kamu sebaliknya."

Selesai memandikan, keduanya mengafani jenazah itu. Saatnya dishalatkan. Ini tugas Abi Assegaf: mengimami shalat jenazah.

Jenazah dibawa ke mushala Refrain. Baris demi baris saf berjajar rapi. Calvin berdiri paling depan, tepat di samping kiri Abi Assegaf. Posisi berdirinya membakar kecemburuan Adica. Ia terpaksa di saf kedua, karena tak kebagian tempat di baris pertama. Deddy di samping kanan Abi Assegaf, Sasmita di sebelahnya.

Shalat jenazah berlangsung khusyuk. Puluhan jiwa yang masih hidup mendoakan yang mati. Mereka dipertemukan dalam kesedihan. Sedih, sedih karena deraan kehilangan.

Mereka berkumpul di sini, bersama mendoakan jiwa yang pergi ke pangkuan Rabbnya. Sebelumnya, jarang sekali mereka berkumpul lengkap di satu ruangan. Kematian mempersatukan mereka.

Sosok-sosok cantik dan tampan berpakaian hitam itu berdiri berjajar dalam kedukaan. Wajah-wajah menyiratkan kesedihan. Hikmah dari peristiwa duka pagi ini, mereka bisa bertemu Abi Assegaf. Pertemuan langka dan berharga sejak pria itu tak lagi sempurna.

Rindu tertebus dalam duka. Walau berbalut kesedihan, mereka tetap mensyukuri jalinan kebersamaan. Menyadari betapa berharganya waktu yang ada. Esok belum tentu mereka dapat bertemu seperti sekarang.

**    

Di pemakaman, Adica tak banyak bicara. Dia dan Calvin ikut membantu membawakan peti jenazah. Sekali mereka saling tatap. Harum nafas hujan membelai udara. Mengantar kesejukan bagi para pelayat.

Calvin menangkap kegalauan di mata Adica. Saat keduanya berdiri bersisian di samping makam yang masih baru, Calvin bertanya lembut.

"Apa yang kamu sedihkan, Adica?"

"Kematian..." jawab violinis dan penyiar itu lirih. Tidak keras, tidak galak seperti tadi.

"Setiap orang akan mati. Tapi kita tak tahu bagaimana akhir kisah kita di dunia."

"Kenapa kematian harus jadi misteri?"

"Bila kita tahu kapan waktu kematian, kita akan terus meminta pada Tuhan untuk menundanya. Tahu waktu kematian justru membuat kita kehilangan arti hidup. Kita hanya akan fokus untuk meminta umur yang panjang. Tujuan hidup di dunia bukan umur yang panjang, tetapi berbuat sebanyak mungkin kebaikan."

Lembut, lembut sekali Calvin mencoba memberi pemahaman pada adik kandungnya. Jangan panggil dia Calvin Wan bila tak mampu bersikap lembut.

"Aku takut Abi meninggal. Atau Ummi, atau Syifa, atau kamu yang pergi."

Rupanya sang violinis pun takut jika sang pianis pergi ke alam Barzah. Calvin menepuk-nepuk lembut punggungnya.

"Sesuatu yang tidak bisa kita kontrol, untuk apa dicemaskan? Kehilangan itu pasti, Adica. Tapi kehidupan kekal di akhirat itu juga pasti. Di dunia kita berpisah, tapi di akhirat kita akan bertemu lagi. Berdoa saja agar kita dipisahkan untuk dipertemukan kembali."

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun