Dengan lembut, Calvin membersihkan tubuh si jenazah. Membersihkan mulut dan hidungnya, mewudlukannya, dan membasuh kepalanya dengan sabun. Pelan-pelan ia menyisir rambut pendek gelap milik si cleaning service malang, lalu merapikannya.
Mereka bekerja dalam diam. Sekali-dua kali Calvin melempar pandang rindu ke arah adiknya. Baru kali ini ia berdua saja dengan sang adik. Rasa rindu bercampur kasih sayang mengaliri hati.
"Adica, kau tahu...aku sangat menyayangimu." kata Calvin, lembut dan tulus.
Adica tersenyum sinis. "Memangnya aku peduli?"
"Aku akan selalu peduli padamu. Meski kamu sebaliknya."
Selesai memandikan, keduanya mengafani jenazah itu. Saatnya dishalatkan. Ini tugas Abi Assegaf: mengimami shalat jenazah.
Jenazah dibawa ke mushala Refrain. Baris demi baris saf berjajar rapi. Calvin berdiri paling depan, tepat di samping kiri Abi Assegaf. Posisi berdirinya membakar kecemburuan Adica. Ia terpaksa di saf kedua, karena tak kebagian tempat di baris pertama. Deddy di samping kanan Abi Assegaf, Sasmita di sebelahnya.
Shalat jenazah berlangsung khusyuk. Puluhan jiwa yang masih hidup mendoakan yang mati. Mereka dipertemukan dalam kesedihan. Sedih, sedih karena deraan kehilangan.
Mereka berkumpul di sini, bersama mendoakan jiwa yang pergi ke pangkuan Rabbnya. Sebelumnya, jarang sekali mereka berkumpul lengkap di satu ruangan. Kematian mempersatukan mereka.
Sosok-sosok cantik dan tampan berpakaian hitam itu berdiri berjajar dalam kedukaan. Wajah-wajah menyiratkan kesedihan. Hikmah dari peristiwa duka pagi ini, mereka bisa bertemu Abi Assegaf. Pertemuan langka dan berharga sejak pria itu tak lagi sempurna.
Rindu tertebus dalam duka. Walau berbalut kesedihan, mereka tetap mensyukuri jalinan kebersamaan. Menyadari betapa berharganya waktu yang ada. Esok belum tentu mereka dapat bertemu seperti sekarang.