"Syifa, nanti aku jemput kamu ya. Mau makan siang dimana?"
"Memangnya kamu nggak sibuk? Aku lagi malas makan di luar. Bosan..."
"Trus maunya apa dong?"
"Aku rindu masakan rumahan. Mau bawa bekal aja."
Gabriel baru tiba di rumah mewah tepi pantai saat mendengar dialog ringan itu. Masakan rumahan? Tetiba ia mendapat ide.
Setelah memastikan dirinya belum ada pekerjaan, si perawat misterius turun ke dapur. Ia kenakan apron putih. Dibukanya kulkas, melihat-lihat bahan makanan yang ada. Tergelitik hatinya untuk melakukan fridgie, memotret isi kulkas dan mengunggahnya ke Instagram. Trend baru di dunia kesehatan dan gizi. Tidak, ia tidak boleh gegabah. Ini rumah orang lain. Di sini dirinya hanya perawat.
Kulkas terbuka. Udara dingin meruap. Daging, sayuran, buah-buahan, chicken egg roll, sosis, dan salmon tersusun rapi di rak teratas. Rak berikutnya terisi quinoa dan rocket. Botol-botol air terdapat di tengah. Ada pula berkotak-kotak susu dan sejumlah batangan keju. Panekuk beku, buah-buahan beku, dan es krim tersimpan di freezer. Tak ada stok permen dan camilan berkalori tinggi. Pintar juga, tidak menyimpan camilan di kulkas. Menyulitkan orang yang ingin makan makanan tak sehat.
Si perawat rupawan bertanya-tanya dalam hati. Siapakah yang menata isi kulkas? Entah para pelayan, entah melibatkan rekomendasi ahli gizi ternama. Dikeluarkannya bahan-bahan makanan, lalu ia mulai beraksi.
Memasak jadi kegiatan menyenangkan. Apa lagi bila masakan dinikmati banyak orang. Kini, memasak tak selamanya dilakukan wanita. Justru banyak pria mendominasi dapur hotel-hotel berbintang. Profesi chef memikat di mata pria.
Hati-hati ia memotong sayuran. Mengupas telur, merebusnya, membuatnya menyerupai bentuk bintang. Menggoreng sosis, lalu dengan beberapa sentuhan membentuknya serupa bunga. Seni mengolah makanan yang cantik.
Beberapa alat ia gunakan untuk mempercantik masakan olahannya: pisau kecil, cetakan, dan noripuncture. Si perawat misterius mengerjakan semuanya begitu cepat. Takut ada yang tahu aktivitasnya.
Nasi yang dimasaknya telah matang. Dicetaknya nasi itu membentuk dua panda imut. Ia terinspirasi foto-foto para food blogger yang kemarin memposting bento berbentuk lucu. Pagi ini, ia bisa membuatnya sendiri. Tak kalah lezat dengan buatan para chef yang lama menggeluti bisnis kuliner.
Dua lunchbox putih menunggu. Si perawat tampan mengisi kotak bekal dengan sajian bento buatannya. Beberapa helai daun selada ia tempatkan sebagai alas kotak. Cantik, cantik sekali. Gabriel mundur, tersenyum puas.
Sepelan mungkin, Gabriel meninggalkan dapur. Membawa kotak-kotak bekal itu di kedua tangan. Menaiki tangga tanpa suara. Debur ombak di kejauhan sedikit membantu. Voila, tas Syifa dan tas biola Adica tertinggal di sofa. Mereka pasti akan mengambilnya lagi. Cepat-cepat dimasukkannya dua lunchbox ke dalam tas.
** Â Â Â
Adakah planet di sana
Jadi tempatku sembunyikan perasaanku
Yang tak bisa diriku tutupi
Betapa indahnya kamu
Bagaikan bintang di hati
Yang temani sepanjang malamku
Menebak cintamu
Meskipun engkau belum meyakini
Apa yang aku rasakan
Aku masih memperjuangkan cintaku
Untuk yakinkanmu hanyalah dirimu
Cintaku di setiap detak hatiku
Berulang aku dekati (Arsy Widianto-Planet Tempatku Sembunyi).
** Â Â
Teriakan kemarahan terdengar dari lantai bawah. Samar ia mendengar namanya disebut. Selesai melepas selang NGT, Gabriel berlari ke dapur besar.
Seorang pelayan terpeleset. Ia menyalahkan Gabriel karena menumpahkan saus di lantai. Bagaimana pelayan itu tahu kalau Gabriel tak sengaja melakukannya?
"Perawat bodoh! Saya lihat kamu di CCTV! Buat apa sok peduli sama Tuan Adica dan Nona Syifa?"
Ia biarkan saja si pelayan memaki-makinya smpai puas. Marahkah perawat tampan itu? Tidak. Diterimanya tiap makian dengan sabar. Selama bekerja di keluarga Assegaf, sudah dua kali ia dikasari orang: oleh pelayan dan bukan pelayan.
"Ada apa ini?"
Arlita tergesa mendekat. Ia melempar pandang tajam pada si pelayan.
"Nyonya, Gabriel menumpahkan saus. Saya terpeleset..."
"Benarkah?" Mata bening melirik Gabriel sekilas.
"Iya, Nyonya. Maaf. Saya tak sengaja."
Amat dalam ia menekan harapan. Berharap Arlita tak bertanya sebabnya menumpahkan saus. Gabriel ingin merahasiakan apa yang dilakukannya tadi pagi. Anggota keluarga Assegaf tak boleh tahu.
"Lain kali hati-hati. Tolong jaga kebersihan rumah ini. Saya tak suka mendengar kecerobohan pekerja." kata Arlita tegas.
Batinnya lega. Arlita tidak mempertanyakan alasan. Gabriel mengangguk sopan, pelan meminta maaf.
"Sudahlah. Kembali bekerja."
Sambil bekerja, Gabriel tenggelam dalam pikirannya sendiri. Salahkah ia memberikan perhatian? Salahkah ia memasakkan bento untuk putri kampus yang ingin masakan rumahan? Apakah ia dianggap fake? Tidak, Gabriel benar-benar tulus.
Sering kali ketulusan disalahartikan. Namun, janganlah berhenti menjadi tulus. Hanya Tuhan yang mengerti. Tuhan mengerti perawat tampan itu sangat menyayangi anak-anak Abi Assegaf.
Riskan Gabriel mengungkapkan kasih sayang secara eksplisit pada anak-anak pasien. Dia harus menutupinya. Cara terbaik untuk menunjukkan kasih dengan sebentuk perhatian. Perhatian, bukti kasih sayang paling nyata. Sebuah perhatian kecil menjadi menggetarkan bila dilakukan setulus hati.
Tak masalah bila Gabriel harus datang dua jam lebih awal. Tak masalah jika Gabriel memasakkan bento setiap hari. Sungguh, ia akan lakukan itu dengan senang hati.
Planet untuk menyembunyikan rasa adalah hati. Perawat tampan itu menutup kasihnya rapat-rapat, memilih menyalurkannya dalam bentuk lain. Mengasihi adalah pilihan. Menyayangi bukan paksaan.
Ah, betapa sayangnya Gabriel pada Adica dan Syifa. Apa pun untuk mereka. Apa lagi hanya lunchbox.
** Â Â Â
Moodnya tak membaik juga. Ia masih rindu masakan rumahan. Kerinduan itu belum lesap. Biar saja ia dianggap aneh oleh teman-temannya. Mereka tidak mengerti.
"Ya ampun...Syifa, Syifa. Kamu aneh ya. Di saat anak seumuran kita pengen banget makan di luar dan belum tentu bisa, kamu malah kangen masakan rumahan." komentar teman-temannya.
"Memangnya kenapa? Seriously, bosan rasanya makan di luar terus. Aku ingin masakan rumahan..."
Gadis cantik itu merengut, memajukan bibir. Lucu sekali ekspresinya. Begitu terburu-burunya ia tadi pagi. Hingga ia lupa menyuruh asisten rumah tangganya membuatkan sesuatu.
"Udahlah, masih banyak waktu. Kamu bisa menikmati masakan rumahan kapan pun kamu mau. Come on, makan siang aja di resto yang recomended. Btw, di dekat sini ada resto baru...mau coba?"
Tawaran teman-temannya sama sekali tak masuk list yang menarik. Tetap saja ia bosan. Tetap saja ia menginginkan yang satu itu.
"Kenapa sih kamu kangen masakan rumahan? Apa istimewanya?"
"Lebih sehat. Kita nggak perlu khawatir kebersihannya, karena dibuat di rumah kita sendiri. Pastinya lebih enak karena dibuat dengan cinta."
Jawaban klise, begitu kata mereka sambil tertawa. Si putri kampus tak peduli. Walau begitu, alasan untuk rindu masakan rumahan benar adanya.
"Asyifa Assegaf, kami nggak habis pikir deh. Coba lihat ke barisan belakang."
Salah seorang teman menunjuk barisan bangku belakang. Syifa melirik sekilas, enggan menatap lama-lama.
"Isinya orang-orang yang bully kamu. Mereka iri karena kamu punya segalanya. Sedangkan mereka? Cuma pembuat masalah. Mereka pengen punya lifestyle kayak kamu. Nah ini, tiba-tiba kamu jadi kepikiran meniru salah satu gaya hidup mereka."
Nothing compares, pikir gadis itu. Mengapa harus membandingkan? Saat ini dia tak ingin lelah memperdebatkan soal iri dan gaya hidup.
Keasyikan mengobrol membuat waktu tak terasa. Perkuliahan kedua selesai. Bertepatan dengan lunch time. Syifa tergesa bangkit, lalu meninggalkan kelas. Ia berjalan ke taman.
Di taman, ia membuka tasnya. Betapa herannya ia melihat lunchbox tergeletak nyaman di dasar tas. Kotak putih itu terasa berat dan hangat. Wangi khas bento membelai hidungnya, begitu menggoda.
Siapa yang meletakkan bento ini? Hatinya bertanya-tanya. Bukankah tadi pagi dia tak sempat meminta apa pun dari para pelayan?
Syifa menimang kotak makan siang itu. Berpikir-pikir, ingin sekali mengucapkan terima kasih pada siapa pun yang menaruhnya.
Benaknya mulai meraba beberapa kemungkinan. Arlita? Bisa jadi. Tapi, ibunya itu sibuk sekali mendesain baju. Abi Assegaf? Tak mungkin. Kondisi Abi Assegaf kurang baik beberapa hari terakhir. Adica? Ya, mungkin saja dia. Violinis itu selalu penuh kejutan.
"Adica, kaukah yang menyiapkan lunchbox untukku?" tanya Syifa langsung saat video call dengannya.
"Justru itu yang mau kutanyakan padamu. Barusan aku lihat ada lunchbox di tas biolaku. Dari siapa ya?"
Kebingungan mereka menyatu. Kejutan kecil. Menggetarkan, tapi misterius.
"Mungkinkah Ummi yang melakukannya?"
"Maybe. Tapi kurasa, Ummi tak punya banyak waktu."
"Lalu siapa?"
Keduanya menduga-duga. Rasa penasaran menyergap hati mereka.
Sejurus kemudian, Syifa meletakkan iPhonenya. Beralih membuka lunchbox di pangkuan. Ketika tutup kotak terbuka, dia terpana.
"Wow, cantik sekali..." desahnya.
Ya, Allah, siapa yang mengerti keinginannya dan membuatkan bento secantik ini?
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H