Seperti tokoh Hannah Montana yang mengubah dirinya saat menjadi Mailie, Calvin mampu menyesuaikan diri. Saat ia masih aktif di dunia modeling, sebutlah ia anak mall. Berbanding terbalik dengan keadaannya sejak divonis kanker darah: anak rumahan. Siang ini, Calvin jadi anak mall lagi.
Tapi, bukan semata demi kesenangan pribadi. Demi memenuhi jadwal menemani Abi Assegaf. Hari ini Abi Assegaf ada janji bertemu klien bisnisnya. Entah dapat bisikan dari mana, si klien meminta bertemu di mall.
Semula, Abi Assegaf ingin pergi sendiri. Namun Calvin berkeras menemani. Ia tahu titik lembut di hati ayah keduanya: sulit mengatakan kata 'tidak'. Alhasil, kini mereka ada di sini. Duduk mengitari meja bundar di gerai PHD.
"Pak Assegaf, lama sekali tak bertemu. Ah, ini pasti anak Anda." kata si klien ramah. Ia pria gemuk botak dengan setelan jas dark brown. Disalaminya Abi Assegaf dan Calvin.
Susah payah Calvin menahan senyum. Dirinya sama sekali tak mirip Abi Assegaf. Mengapa ada yang berasumsi begitu? Jalan pikiran orang kadang absurd.
Satu jam mereka habiskan untuk berbincang hangat. Bukan, bukan pertemuan formal. Hanya membahas peluang bisnis dan kesempatan ekspansi. Perusahaan si klien hendak bekerjasama dengan Assegaf Group. Mendengarkan obrolan itu, Calvin berdoa dalam hati. Mendoakan kesuksesan kerjasama itu.
Mungkin saja mereka masih akan bertahan lama di sana. Andai saja tak ada deringan ponsel menyela. Si klien bisnis menepuk dahinya yang berminyak, terburu-buru bangkit dari kursi. Suara derak kursi begitu gaduh saat ditinggalkan pemiliknya.
"Maaf, Pak Assegaf. Saya ditunggu istri di Holy Noodle. Kita bisa lanjutkan lain waktu. Nanti saya e-mailkan proposalnya." Klien bisnis itu bicara cepat sekali.
"Ok, tidak masalah. Salam untuk Susan."
Sesaat Calvin dan Abi Assegaf menatapi punggung si klien sampai hilang di balik pintu. Wajah Abi Assegaf berubah sedih. Calvin menangkap perubahan itu.
"Kenapa, Abi?" tanyanya.
"Resto di sebelah itu...isinya makanan non-halal. Signature dishnya mie dengan campuran daging babi. Dulu Ummi Arlita pernah mengajak Abi ke sana, tapi..."
Tanpa perlu dilanjutkan, Calvin mengerti. Diusap-usapnya lengan Abi Assegaf.
"Sudah berlalu, Abi."
"Calvin, kamu tahu? Perbedaan itu indah, tetapi melukai. Perihnya luka terasa saat sisi tajam perbedaan menggores hati kita."
Tanpa kata, Calvin mengajak Abi Assegaf meninggalkan gerai. Melangkah di sepanjang lorong. Melewati gerai demi gerai lainnya. Saat itulah Abi Assegaf bertambah sedih. Ingatan akan masa lalunya dengan Arlita terus berkejaran.
** Â Â Â
Mengertikah kamu
Aku rindu kamu
Walau kau menghapus
Menghempas diriku
Mengganti cintaku
Semua tak mampu
Hilangkan cinta yang telah kauberi
Walau kau berubah
Aku kan bertahan
Di sepanjang waktuku
Biarkan aku mencintaimu dengan caraku (Arsy Widianto ft Brisia Jodie-Dengan Caraku).
** Â Â Â
Mendung tak juga terhapus dari wajah Abi Assegaf. Calvin mulai kebingungan. Namun ia bertekad menenangkan ayah keduanya itu.
Ia bawa Abi Assegaf menjauh dari gerai-gerai makanan non-halal. Calvin pun ingin menghindarinya. Bukan tempat yang layak didatangi seorang Muslim. Konvensi etik dalam otaknya membisikkan hal itu.
Mereka berpapasan dengan orang-orang bertubuh tinggi, berkulit putih, dan bermata sipit. Sama sekali tak ada niatan Calvin berinteraksi dengan saudara seetnisnya. Perhatiannya full untuk Abi Assegaf.
Mereka tiba di deretan gerai pajangan kristal. Abi Assegaf melempar pandang tertarik pada pajangan kristal berlabel harga sembilan juta. Arlita pasti suka. Tanpa membuang waktu lagi, dibelinya barang mahal tapi bagus itu.
"Ummi Arlita beruntung punya Abi," ungkap Calvin kagum.
"Abi pendamping hidup yang tulus dan penyayang."
Mendengar pujian itu, Abi Assegaf merespon dengan rendah hati.
"Abi tak bisa menilai diri sendiri. Biar orang lain saja yang menilai."
Tak butuh waktu lama untuk bertransaksi non-tunai. Segera saja pajangan kristal itu berpindah ke tangan. Calvin berbaik hati membawakannya. Mana mungkin ia biarkan Abi Assegaf mengangkat barang berat sendirian?
Entah perasaannya saja atau memang benar, rerata pengunjung mall ini didominasi Non-Pribumi. Wajah asing dimana-mana. Sangat sedikit ditemui wajah-wajah lokal itu. Yang terlihat hanyalah raut wajah putih, tubuh proporsional, mata segaris, mata abu-abu, rambut kecoklatan, hidung mancung, dan kulit terang. Mall apa ini? Seperti hanya mengkhususkan diri pada Non-Pribumi dan expatriat.
Anak-anak kecil berkulit putih bersih berlarian di koridor. Saling kejar, saling rebut kantong belanja berisi sepatu mahal yang baru mereka beli. Harga barang-barang di sini dibandrol ratusan ribu hingga jutaan. Makanan di sini pun tidak murah. Pajak yang dibebankan mempengaruhinya.
Di depan eskalator, Abi Assegaf bertabrakan dengan wanita cantik berwajah bule dan berkalung salib. Berulang kali si wanita meminta maaf dalam bahasa Inggris campur Indonesia.
"Oh sorry...sorry...saya sengaja tidak..." katanya terpatah-patah. Susunan gramar bahasa Indonesianya tertukar.
"No problem. Are you ok? Can I help you?" Abi Assegaf berbaik hati. Menyesuaikan diri dengan bahasa yang dikuasai wanita bule itu.
Ia menggeleng. Buru-buru minta permisi, lalu naik eskalator. Detik itulah Abi Assegaf melihat kalung salibnya. Ia terenyak. Wanita itu mirip sekali Arlita.
"Arlita..." desah Abi Assegaf. Sejenak bersandar ke dinding dengan letih.
"Mengapa hari ini Abi banyak bertemu hal-hal yang mengingatkan pada sakitnya perbedaan di masa lalu?"
Mungkin Allah sedang mengujinya. Kristal-kristal bening terjatuh dari pelupuk mata Abi Assegaf. Kesedihannya tak tertahan lagi.
Calvin mencoba memberi penghiburan. Pada saat bersamaan, terjadi sesuatu di luar prediksi. Adica datang menyusul ke mall eksklusif itu. Mendapati Abi Assegaf bersedih, pikiran negatif mendorongnya berbuat nekat.
"Apa yang telah kaulakukan pada ayahku, Calvin Wan?!"
Plak!
Sekuat tenaga ia menampar pipi kakaknya sendiri. Calvin tersungkur ke lantai, hidung dan bibirnya berdarah.
"Adica anakku, janfgan lukai dia. Abi sedih bukan karena Calvin." tegur Abi Assegaf, mencengkeram erat pergelangan tangan putranya.
"Tidak! Pasti Abi menyembunyikan sesuatu! Dia berbuat apa sampai Abi sedih begini?"
Perlahan Calvin bangkit dari lantai. Disekanya sisa darah.
"Maaf, Adica. Sungguh aku tidak bermaksud membuat Abi Assegaf sedih. Percayalah..."
"Aku tidak percaya! Katakan sejujurnya, kauapakan ayahku?!"
Salah paham itu sakit, sakit sekali. Mengapa Adica menuduhnya? Ditampar saja sudah menyakitkan, apa lagi dihujani tuduhan tak berdasar. Sulit sekali membuat adiknya percaya.
** Â Â Â
"My Dear Calvin, siapa yang telah berbuat begini padamu?" sergah Tuan Effendi panik.
Calvin mengusap noda darahnya. "Tidak perlu mempermasalahkannya, Pa."
"Katakan, siapa yang melakukannya!"
Nada suara Tuan Effendi meninggi. Ia meninggalkan kantor lebih awal saat mendapat telepon dari istrinya. Kata Nyonya Rose, Calvin kembali ke rumah dengan wajah pucat. Noda darah dimana-mana.
"Calvin, bukankah anak harus menjawab pertanyaan orang tua?"
Sudah tiga kali. Tiga kali orang tua bertanya pada anak.
"Adikku...anak yang Papa sia-siakan." lirih Calvin.
"Astaga, bagaimana bisa?"
"Dia mengira aku berbuat jahat pada Abi Assegaf."
Kemarahan Tuan Effendi naik ke permukaan. "Assegaf! Gara-gara dia lagi! Dia harus kuberi pelajaran!"
"Jangan, Pa..." cegah Calvin. Ia merasakan helaan nafasnya semakin lemah, semakin menipis kekuatan di tubuhnya. Namun tak ingin ia tunjukkan kelemahan itu.
"Papa tidak rela anak Papa dilukai hanya karena salah paham!"
"Membalas dendam bukan penyelesaian, Pa. Aku baik-baik saja. Papa tidak perlu khawatir."
Jangan harap Tuan Effendi percaya. Calvin berdarah-darah begini, masih menyebut dirinya baik-baik saja? Luka, sekecil apa pun, berbahaya bagi penyintas kanker darah.
Melihat kondisi Calvin, ia kesampingkan sejenak esensi kemarahan. Sikapnya kembali melembut.
"Sekarang apa yang kauperlukan, my Dear Calvin?" tanyanya lembut.
"Aku ingin istirahat, Pa."
"Ok. Papa di sini...Papa jaga kamu."
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Tuan Effendi menyelimuti Calvin. Satu tangan yang lain membelai sisa rambutnya. Rambut Calvin mulai tumbuh lagi sejak mengakhiri kemoterapi. Calvin berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur. Mencoba melupakan rasa sakitnya.
Tak bisa. Ia justru tak bisa tidur. Hal-hal lain melintas di pikirannya. Besar harapan Calvin agar Tuan Effendi meninggalkan kamarnya.
Satu, dua, tiga, empat jam kemudian barulah Tuan Effendi pergi. Buru-buru Calvin menyingkirkan selimut, bangkit dari ranjang. Bagaimana bila ia berubah?
** Â Â Â
Anggota caregiver team berkumpul tidak lengkap. Hanya ada Revan, Deddy, Adica, dan Arlita. Syifa ada job modeling di luar. Aline menjenguk Romo yang sakit.
"Perawat-perawat homecare itu rajin sekali ya," kata Arlita. Senyum puas tergurat di wajah letihnya.
"Iya, Ummi. Tak salah memilih mereka."
Perawat-perawat homecare stand by 7 jam di rumah mewah tepi pantai. Mereka rajin, cekatan, dan disiplin. Nurse tetaplah nurse. Bukan caregiver, bukan pula asisten rumah tangga. Job descriptionnya berbeda. Walaupun tak semuanya lulus UKOM (Ujian Kompetensi) dan memiliki STR (Surat Tanda Registrasi), tetapi mereka loyal dan mampu bekerja dengan baik.
"Aku berikan makanan dulu buat mereka."
Dengan kata-kata itu, Adica bergegas naik ke lantai atas. Tak sadar seorang perawat pria memperhatikannya.
Adica menyapa semua perawat dengan ramah. Dibagi-bagikannya kotak makanan pada mereka. Kotak terakhir diterima perawat pria yang sejak tadi memperhatikannya.
"Ini untukmu," kata Adica tulus.
"Terima kasih telah merawat Abi dan bekerja dengan baik di sini."
Perawat itu menerima kotak yang disodorkan tuan mudanya. Ia balas menatap si tuan muda. Ketulusan itu, sungguh menggetarkan.
"Terima kasih, Tuan Muda."
Andai saja tatapan tulus itu benar-benar ada...
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H