Mereka tiba di deretan gerai pajangan kristal. Abi Assegaf melempar pandang tertarik pada pajangan kristal berlabel harga sembilan juta. Arlita pasti suka. Tanpa membuang waktu lagi, dibelinya barang mahal tapi bagus itu.
"Ummi Arlita beruntung punya Abi," ungkap Calvin kagum.
"Abi pendamping hidup yang tulus dan penyayang."
Mendengar pujian itu, Abi Assegaf merespon dengan rendah hati.
"Abi tak bisa menilai diri sendiri. Biar orang lain saja yang menilai."
Tak butuh waktu lama untuk bertransaksi non-tunai. Segera saja pajangan kristal itu berpindah ke tangan. Calvin berbaik hati membawakannya. Mana mungkin ia biarkan Abi Assegaf mengangkat barang berat sendirian?
Entah perasaannya saja atau memang benar, rerata pengunjung mall ini didominasi Non-Pribumi. Wajah asing dimana-mana. Sangat sedikit ditemui wajah-wajah lokal itu. Yang terlihat hanyalah raut wajah putih, tubuh proporsional, mata segaris, mata abu-abu, rambut kecoklatan, hidung mancung, dan kulit terang. Mall apa ini? Seperti hanya mengkhususkan diri pada Non-Pribumi dan expatriat.
Anak-anak kecil berkulit putih bersih berlarian di koridor. Saling kejar, saling rebut kantong belanja berisi sepatu mahal yang baru mereka beli. Harga barang-barang di sini dibandrol ratusan ribu hingga jutaan. Makanan di sini pun tidak murah. Pajak yang dibebankan mempengaruhinya.
Di depan eskalator, Abi Assegaf bertabrakan dengan wanita cantik berwajah bule dan berkalung salib. Berulang kali si wanita meminta maaf dalam bahasa Inggris campur Indonesia.
"Oh sorry...sorry...saya sengaja tidak..." katanya terpatah-patah. Susunan gramar bahasa Indonesianya tertukar.
"No problem. Are you ok? Can I help you?" Abi Assegaf berbaik hati. Menyesuaikan diri dengan bahasa yang dikuasai wanita bule itu.