Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Balada Profesionalitas Siaran

5 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 5 Desember 2018   05:56 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore yang muram menutup langit. Seperti sehelai jubah kelabu yang dilempar ke angkasa. Cuaca tak bersahabat.

Di tengah cuaca sedingin ini, Adica terkurung dalam akuarium raksasa bernama kotak siaran. Suhu pendingin udara di studio menyaingi dinginnya udara di luar sana. Setelan Armani yang melekat di tubuhnya ternyata tak cukup menahan rasa dingin.

"Arlita, dingin..." gumam Abi Assegaf tanpa sadar.

Tak sulit Arlita membedakan rintihan kesakitan dan gumaman. Ia sadar, suaminya merasakan dingin dan sakit. Dalam hati ia menyalahkan AC di ruang rapat kantor pusat Assegaf Group yang di-set pada suhu terendah. Siapa pun yang mengatur suhu, Arlita ingin sekali menegurnya.

Setetes darah terjatuh dari hidung Abi Assegaf. Rasa sakit menghebat, diikuti aliran darah. Kecemasan menggelembung di hati Arlita. Pelan dibujuknya suaminya kembali ke rumah. Biarkan saja urusan di kantor pusat ditangani orang kepercayaan mereka.

Bujukan Arlita direspon penolakan. Abi Assegaf berkeras tetap di sini. Ia malah memaksakan diri bangkit dari kursi empuknya.

"Aku harus ambil beberapa dokumen di ruang kerjaku, Arlita."

"Ah, biar aku saja. Atau kita suruh sekretarismu."

"Tidak." tolak Abi Assegaf, lalu berjalan pergi.

Pria tangguh dan berwibawa itu melangkah menyusuri koridor. Ruang kerjanya satu lantai dengan meeting room. Tusukan rasa sakit di dada membuat langkahnya melambat. Beberapa meter dari pintu ruang kerja, Abi Assegaf terjatuh. Sakit, sakit berkali-kali lipat mendera tubuhnya.

"Assegaf!"

Arlita berlari-lari ke arahnya. Apa yang ditakutkan terjadi.

iPhonenya bergetar. Selalu ia aktifkan mode hening atau getar pada ponsel pintarnya bila sedang siaran. Sambil menyampaikan beberapa informasi pilihan, Adica membuka notifikasi. Pesan bernada cemas dari ibu pertama dan terakhirnya.

Gelombang besar kecemasan memukul-mukul pantai hatinya. Ya, Allah, jagakanlah dirinya. Jangan sampai profesionalitas siarannya hancur. Namun, kabar dari Arlita sungguh mengkhawatirkan.

Selesai menyampaikan informasi, Adica memutar beberapa lagu dan filler. Saat itulah ia menenggelamkan diri dalam kesedihan dan kecemasan. Bagaimana bisa Abi Assegaf terjatuh dan terluka? Bukan, ia tidak jatuh di rumah mewah tepi pantai. Tapi di kantor Assegaf Group. Semangat hidup terkalahkan rasa sakit.

Lagu terus mengalun. Pemuda tampan orientalis itu membenamkan kepalanya sesaat di meja. Menahan beban berat kekhawatiran. Sekuat-kuatnya pria, tetap saja ada titik lemahnya.

"Abi..." lirih Adica menyebut ayah keduanya. Ayah kedua yang sangat ia cintai.


Belum juga kah kau menyadarinya

Akulah yang pantas untuk kau cintai

Di bawah langit biru aku bersumpah

Diriku tanpamu apa artinya cinta... (Melly Goeslaw ft Ari Lasou-Apa Artinya Cinta).

Sebagian isi lagu itu menghentak hatinya. Benar, apa artinya cinta bila hidup tanpa Abi Assegaf. Adica begitu mencintai ayah keduanya. Janji dan tekad telah membulat, dia takkan meninggalkan Abi Assegaf apa pun yang terjadi.

Mengapa lagu itu sangat representatif? Dirinya tak bisa hidup tanpa Abi Assegaf. Sosok ayah luar biasa, ayah yang selalu ia rindukan dan ia doakan. Apa artinya cinta bila tanpa Abi Assegaf?

Beban berat kekhawatiran menghimpit jiwanya. Adica khawatir, sangat khawatir pada kondisi Abi Assegaf. Andai dia ada di sana. Andai durasi siarannya sudah selesai. Sayang sekali, durasi siarannya masih panjang.

Abi Assegaf mengajarinya untuk selalu bersikap profesional. Adica meyakini ajaran itu. Dalam situasi apa pun, profesionalitas nomor satu di kursi siaran radio. Walau tak mudah, walau berat.

Lagu berakhir, fade out. Filler terputar. Disusul beberapa iklan. Adica memanfaatkan jeda itu untuk melampiaskan rasa cemasnya. Saat kembali naik siaran, tak terdengar sedikit pun nada kecemasan.

"Pendengar, cuaca di sekitar studio mulai redup. Hujan lebat turun...dan sudah ada beberapa pengguna jalan yang berhenti sebentar di depan studio Refrain. Bagaimana dengan cuaca di daerah Anda? Sekarang ini, frekuensi hujan semakin tinggi ya, pendengar. Hati-hati, dan tetap jaga kesehatan. Cuaca yang kurang bersahabat membuat tubuh lebih mudah sakit..."

Tenang, santai, hangat, dan bersahabat. Kesan ketidaktenangan lenyap dalam suaranya. Benar-benar profesional. Pendengar Refrain tak tahu. Salah satu penyiar kesayangan mereka sedang terpapar virus khawatir tingkat akut sore itu.

Pendengar bukannya tak tahu, tapi tak mau tahu. Ya, pendengar tak mau tahu bagaimana perasaan penyiar. Tujuan mereka mendengarkan radio adalah mencari musik, hiburan, dan informasi. Mana mungkin mereka terhibur bila penyiarnya saja menampakkan kesedihan?

Katakanlah ini sisi kejam dunia entertainment. Publik tak peduli perasaan idolanya. Mereka dituntut tampil profesional dan mampu all out di depan publik. Peduli amat mereka sedang sedih, tertekan, galau, dan stress.

Menampakkan emosi negatif tak ditolerir di dunia seperti ini. Haram bagi pelaku industri hiburan untuk terlihat sedih, marah, frustrasi, dan galau saat bekerja. Ritme hidup manusia siapa yang tahu. Tapi sekali lagi, publik tak peduli.

Sudah menjadi risiko. Suka tidak suka, seorang public figure harus begitu. All out dan profesional, beban besar mereka.

Ingin rasanya Adica memberi reward untuk diri sendiri. Ok fine, dirinya telah mampu menguasai diri. Tetap tenang di tengah serbuan kepanikan. Sulit, sulit sekali menguasai diri dalam situasi begini.

Wajah Abi Assegaf terus berkelebatan di pikirannya. Bagaimana kondisi pria itu sekarang? Mengapa Arlita tak mengabarinya lagi?

**     

"Ini untukmu."

Sasmita mengulurkan kotak putih berisi pasta panggang. Adica menerimanya dengan ragu.

"Terima kasih. Dari siapa, Pak Sasmita? Pendengar kita, ya?"

Sasmita menggeleng. "Dari Pak Effendi."

Wajah tampannya berubah keruh. Adica meletakkan kotak pasta begitu saja. Enggan sekali menyentuhnya.

"Kenapa?" selidik Sasmita keheranan.

"Saya tak mau memakannya. Untuk Pak Sasmita saja. Atau untuk cleaning service." kata Adica datar.

Alis Sasmita terangkat. "Tapi...Pak Effendi sendiri yang mengantarkannya."

"Saya tak peduli."

"Memangnya kamu tidak lapar? Hujan-hujan begini, biasanya lebih mudah merasa lapar."

"Tidak." sahut Adica cepat, meski perutnya berkhianat.

Senyum simpul bermain di sudut bibir Sasmita. Dia tahu, anak ini terlalu gengsi menerima apa pun pemberian Tuan Effendi. Bahkan ia mengabaikan rasa laparnya sendiri.

"Pak Sasmita, tolong bawa lagi pastanya." perintah Adica tegas.

"Yakin kamu tidak mau?"

"Saya tidak akan mengulang kata-kata saya."

Masih tersenyum, Sasmita keluar membawa kotak pasta. Adica membanting pintu studio. Mood-nya makin hancur gegara kiriman makanan dari Tuan Effendi. Pasta panggang itu masih belum cukup menebus semua kesalahan, pembiaran, dan penelantarannya selama dua puluh tahun. Sekedar mengirim makanan belum sebanding dengan kasih dan kebaikan Michael Wirawan serta Abi Assegaf.

Frustrasi, ia menjatuhkan tubuhnya di kursi siaran. Adica sungguh frustrasi dan kesepian. Ia tak berdaya terpenjara di kotak siaran. Bila tak cinta dunia broadcasting, kotak siaran telah dianggapnya penjara.

Tak ada yang mengerti perasaannya. Tak ada yang memahami betapa cemasnya ia memikirkan kondisi ayah kedua. Semua ingin dimengerti, tapi mereka tidak mengerti hatinya.

Adica marah, marah dengan keadaan. Namun, keadaan tidak bisa disalahkan. Sudah terjadi.

Ada jeda lama pemutaran shalawat Tarhim, azan Maghrib, dan beberapa lagu religi. Kembali ia terlarut dalam perasaannya sendiri.

Kini, mulai terasa tantangan berat menjadi penyiar. Yang terberat adalah mengatur pikiran. Ia bertanya-tanya. Bagaimana dengan Abi Assegaf yang telah melakukannya selama 19 tahun?

**     

Tangannya sedikit bergetar saat merapikan naskah-naskah di meja siaran. Setelah lagu ini...

"Pendengar dimana pun Anda berada, sesaat lagi kita akan menyimak Dinamika Informasi. Program warta berita siaran berjaringan nasional. Selamat mendengarkan."

Masih ada waktu setengah jam. Ia beranjak bangkit, lalu keluar studio. Sasmita mencegatnya di lorong.

"Adica, kau mau kemana?"

"Saya harus keluar sebentar."

Langkahnya semakin cepat. Tenanglah, Adica yang sekarang bukanlah yang dulu. Granulomatosis Wegener sudah ia kalahkan. Sistem motoriknya berfungsi normal. Tak ada lagi cerita susah berjalan, terjatuh, dan kemoterapi. No Anorexia, no kehilangan rambut.

Halaman studio licin bermandi hujan. Adica membuka pintu mobil. Ia mengeluarkan puluhan kotak makanan. Begitulah kebiasaannya hampir tiap hari: membawa makanan untuk dibagikan di tengah aktivitas pekerjaan. Dia terinspirasi Abi Assegaf yang tak pernah lupa berbagi makanan pada kaum akar rumput setiap hari.

Di bawah hujan, Adica berjalan menyusuri jalan. Ia bagi-bagikan makanan pada mereka yang memerlukan. Tak sulit menemukan orang miskin di sekitar studio. Megahnya gedung perkantoran di kanan-kiri jalan berbanding terbalik dengan lalu-lalang para pemulung, tunawisma, pengamen, dan anak jalanan.

Penyiar berwajah rupawan itu tak peduli jasnya basah. Sepatu New Ballance yang dipakainya kotor. Adica melampiaskan kesedihan dan kecemasannya dengan berbagi.

Wajah-wajah kotor berminyak itu penuh senyum menerima kotak makanan darinya. Tak sedikit dari mereka yang spontan mendoakan pemberinya begitu saja. Seraya berjalan dan berbagi, tak henti ia mendoakan Abi Assegaf. Semoga pintu langit meloloskan doanya langsung kepada Allah lewat jalan berbagi. Bukankah sedekah mempercepat terkabulnya doa? Jangan hanya meminta, tetapi juga memberi.

"Alhamdulillah. Jazakallah khairan kasiran...semoga sehat, selamat, banyak rezeki, lancar usahanya!" seru seorang kakek pemulung begitu menerima kotak makanan.

"Jangan doakan saya...tapi doakan ayah saya agar cepat sembuh." lirih Adica spontan.

Pemulung itu mengangguk. Malam ini, Adica bersedekah atas nama Abi Assegaf. Salah satu caranya memuliakan sang ayah.

SUV putih menepi. Sekali lihat saja, ia langsung mengenali mobil itu. Calvin bergegas turun dari mobil.

"Adica, kenapa kamu di sini? Bukannya masih siaran?" sapanya penuh perhatian.

"Sekarang jadwalnya siaran berjaringan," jawab Adica dingin.

"I see. Ayo, kuantar kamu ke studio. Sudah selesai berbagi, kan?"

Tawaran kakak kandungnya diabaikan. Ia terus saja berjalan. Tanpa menjawab. Melirik pun tidak.

Calvin menatap miris punggung adiknya. Blogger dan mantan model itu tertunduk sedih. Hujan jatuh berkali-kali, sama seperti hati Calvin yang disakiti berkali-kali oleh sang adik. Calvin bersedih, bersedih di bawah guyuran hujan.

**      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun