Ada jeda lama pemutaran shalawat Tarhim, azan Maghrib, dan beberapa lagu religi. Kembali ia terlarut dalam perasaannya sendiri.
Kini, mulai terasa tantangan berat menjadi penyiar. Yang terberat adalah mengatur pikiran. Ia bertanya-tanya. Bagaimana dengan Abi Assegaf yang telah melakukannya selama 19 tahun?
** Â Â Â
Tangannya sedikit bergetar saat merapikan naskah-naskah di meja siaran. Setelah lagu ini...
"Pendengar dimana pun Anda berada, sesaat lagi kita akan menyimak Dinamika Informasi. Program warta berita siaran berjaringan nasional. Selamat mendengarkan."
Masih ada waktu setengah jam. Ia beranjak bangkit, lalu keluar studio. Sasmita mencegatnya di lorong.
"Adica, kau mau kemana?"
"Saya harus keluar sebentar."
Langkahnya semakin cepat. Tenanglah, Adica yang sekarang bukanlah yang dulu. Granulomatosis Wegener sudah ia kalahkan. Sistem motoriknya berfungsi normal. Tak ada lagi cerita susah berjalan, terjatuh, dan kemoterapi. No Anorexia, no kehilangan rambut.
Halaman studio licin bermandi hujan. Adica membuka pintu mobil. Ia mengeluarkan puluhan kotak makanan. Begitulah kebiasaannya hampir tiap hari: membawa makanan untuk dibagikan di tengah aktivitas pekerjaan. Dia terinspirasi Abi Assegaf yang tak pernah lupa berbagi makanan pada kaum akar rumput setiap hari.
Di bawah hujan, Adica berjalan menyusuri jalan. Ia bagi-bagikan makanan pada mereka yang memerlukan. Tak sulit menemukan orang miskin di sekitar studio. Megahnya gedung perkantoran di kanan-kiri jalan berbanding terbalik dengan lalu-lalang para pemulung, tunawisma, pengamen, dan anak jalanan.