"Saya tak peduli."
"Memangnya kamu tidak lapar? Hujan-hujan begini, biasanya lebih mudah merasa lapar."
"Tidak." sahut Adica cepat, meski perutnya berkhianat.
Senyum simpul bermain di sudut bibir Sasmita. Dia tahu, anak ini terlalu gengsi menerima apa pun pemberian Tuan Effendi. Bahkan ia mengabaikan rasa laparnya sendiri.
"Pak Sasmita, tolong bawa lagi pastanya." perintah Adica tegas.
"Yakin kamu tidak mau?"
"Saya tidak akan mengulang kata-kata saya."
Masih tersenyum, Sasmita keluar membawa kotak pasta. Adica membanting pintu studio. Mood-nya makin hancur gegara kiriman makanan dari Tuan Effendi. Pasta panggang itu masih belum cukup menebus semua kesalahan, pembiaran, dan penelantarannya selama dua puluh tahun. Sekedar mengirim makanan belum sebanding dengan kasih dan kebaikan Michael Wirawan serta Abi Assegaf.
Frustrasi, ia menjatuhkan tubuhnya di kursi siaran. Adica sungguh frustrasi dan kesepian. Ia tak berdaya terpenjara di kotak siaran. Bila tak cinta dunia broadcasting, kotak siaran telah dianggapnya penjara.
Tak ada yang mengerti perasaannya. Tak ada yang memahami betapa cemasnya ia memikirkan kondisi ayah kedua. Semua ingin dimengerti, tapi mereka tidak mengerti hatinya.
Adica marah, marah dengan keadaan. Namun, keadaan tidak bisa disalahkan. Sudah terjadi.