Langit memutih, seputih mutiara. Pagi ini dingin sekali. Ombak menabrak pasir putih. Buih-buihnya bergelayut di butiran pasir. Titik-titik gerimis berjatuhan tepat ketika tiga perahu nelayan merapat.
Abi Assegaf melangkah di tepi pantai. Melayangkan pandang ke arah sosok-sosok nelayan yang turun dari perahu. Jaring, baskom berisi penuh hasil tangkapan di laut, dan peralatan lainnya diturunkan. Tak jauh dari mereka, sekumpulan anak kecil asyik bermain. Bola plastik mereka perebutkan diiringi tawa riang. Sama sekali tak peduli dengan tamparan hawa dingin.
Awalnya, semua begitu tenang menghanyutkan. Tetiba seorang lelaki tua berkumis lebat dan berperut one pack datang mendekat. Ia merampas baskom-baskom di tangan para nelayan. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Para nelayan pasrah saja hasil lautnya dikuasai lelaki itu.
Sesuatu yang lembut menyentuh nurani. Tak tinggal diam melihat orang-orang kecil dizhalimi, Abi Assegaf menjajari langkah lelaki itu. Dengan sopan ia minta permisi.
"Boleh saya beli ikan-ikannya? Kelihatannya segar sekali..." kata Abi Assegaf ramah.
Melihat wibawa sosok tinggi berhidung mancung di sampingnya, kegarangan si lelaki menyusut. Ia pun mengangguk. Abi Assegaf sendiri yang mengambil hasil tangkapan satu per satu. Membungkusnya dengan rapi. Ia sodorkan lima lembar ratusan ribu ke tangan si lelaki culas.
"Terima kasih." ujarnya santun, lalu bergegas pergi.
Sejurus kemudian, Abi Assegaf kembali ke dermaga. Dikembalikannya ikan-ikan hasil tangkapan itu pada para nelayan. Di tiap kantong ikan, ia letakkan sepuluh lembar uang merah. Bahagianya para nelayan menerima lagi ikan hasil tangkapan mereka. Tak sia-sia melaut semalaman.
"Juallah, dan jangan lagi tergantung pada rentenir." kata Abi Assegaf lembut.
"Iya. Maunya kami juga begitu. Dia jahat, Abi Assegaf."
"Jika kalian butuh bantuan, datang ke rumah saya. Saya bantu semampunya, insya Allah."
Nelayan-nelayan itu mengangguk dengan wajah berbinar bahagia. Sejak Abi Assegaf tinggal di tepi pantai, sedikit demi sedikit praktik kezhaliman rentenir mulai terkikis. Beban berat di atas kehidupan memprihatinkan para nelayan perlahan berkurang. Abi Assegaf mengasihi mereka dengan limpahan hartanya. Ia tak pernah keberatan berbaur dengan nelayan di dermaga. Sering ia mengundang mereka ke rumahnya untuk makan bersama. Dengan sabar, Abi Assegaf mendengarkan curahan hati mereka. Bila para nelayan ada masalah, dia bantu sebisanya.
Sepasang mata lekat memperhatikan Abi Assegaf dari balik jajaran perahu. Biola tergenggam di tangan. Pemilik mata itu terharu. Terharu dengan kasih dan virus kebaikan yang ditebarkan. Andai saja Abi Assegaf ayahnya...
Si gadis Manado-Borgo bermata biru mulai menggesek bow. Nada demi nada ia alunkan. Bibir mungilnya bernyanyi pelan.
Dimana dirimu
Ingatkah padaku
Ku selalu di sini
Meniti bayangan
Kuterimakan keadaanku
Mencintaimu tanpa mampu memiliki
Kau yang terindah
Mengisi aku di sendiriku
Seperti tinta biru
Yang takkan terhapus di hatiku (Isyana Sarasvati-Kuterimakan).
Gelembung air mata pecah di pipi Silvi. Ia terisak, permainan biolanya sedikit kacau. Kristal-kristal bening jatuh membasahi gaun baby blue-nya.
Tepat pada saat itu, Abi Assegaf melihatnya. Ya, pria itu pun akhirnya menyadari kehadiran Silvi. Ia mempercepat langkah. Menghampiri teman baik anak-anaknya.
"Silvi," Abi Assegaf memanggil lembut namanya.
Wangi Calvin Klein membelai hidung. Silvi berbalik, lalu detik berikutnya dia rasakan pelukan hangat Abi Assegaf.
"Kamu menangis. Ada masalah? Mau cerita sama Abi?" tawarnya, lembut sekali.
Silvi tergugu. "Andai saja Abi Assegaf ayahku. Saya peluk Abi Assegaf seperti memeluk ayah kandung saya sendiri."
"Anggap Abi ini ayahmu, Nak. Tidak apa-apa...tidak apa-apa."
Hangat, hangat yang amat dirindukan mengalir ke hatinya. Silvi tak pernah kenal sosok ayah yang baik. Johanis Tendean jauh dari kata baik semasa hidup. Punya jabatan tinggi di perusahaan, namun akhlak tak setinggi jabatannya. Ia tipe ayah yang kasar, pilih kasih, dan konservatif. Johanis Tendean hanya menyayangi Revan hingga hari kematiannya.
Silvi haus kasih sayang seorang ayah. Tak heran bila ia sering mencari-cari perhatian pria dewasa lain di luar keluarga. Revan memang baik, tapi statusnya adalah kakak. Silvi memendam iri pada Syifa yang memiliki ayah ideal.
"Syifa sudah berbagi ayah dengan Adica. Masa harus denganku juga?" protes Silvi.
Abi Assegaf tertawa lembut. "Dia takkan keberatan, Sayang. Percayalah."
Tak pernah, tak pernah seumur hidup Silvi merasakan pelukan dari ayah kandungnya. Pikir Silvi, beruntung sekali Adica dan Syifa. Mungkin Silvi lupa. Ia pun memiliki dua pria yang tulus mencintainya: Revan dan Calvin.
Calvin? Lihatlah, pemuda tampan berkacamata itu tengah berjalan menyusuri bentangan pasir putih. Dia menghampiri Silvi dan Abi Assegaf. Melihat kedatangan pria yang telah dijodohkan dengannya sejak kecil, Silvi buru-buru melepas pelukan.
"Ah, my charming angel with the slanting eyes...sorry." bisiknya.
"No problem." Calvin tersenyum penuh pengertian, mengacak rambut Silvi.
Wajah Silvi mengguratkan penyesalan. Calvin meyakinkannya kalau ia tak apa-apa. Sungguh, ia tidak marah melihat Silvi berpelukan dengan Abi Assegaf.
"Abi, ada telepon dari rumah sakit. Katanya, John Riantama kena serangan Stroke. Aku juga tidak tahu kenapa Abi yang dikabari."
** Â Â Â
Ruang VIP rumah sakit sesunyi mausoleum. Terjawablah pertanyaan apa bedanya orang kaya dan miskin saat sakit. Bila orang miskin merasakan sakit dalam keramaian, orang kaya tenggelam dalam kesepian bersama rasa sakit.
Di ruangan sesunyi ini, John Riantama terbaring kaku. Tubuhnya lumpuh tak bisa digerakkan. Ia layaknya mayat setengah hidup. Bergerak tak bisa, menelan hampir tak bisa, melihat pun entah mampu entah tidak. Meski begitu, ia masih bisa bicara.
Hati Abi Assegaf tersentuh rasa iba. Pihak rumah sakit meneleponnya karena tak satu pun keluarga Riantama peduli. Ironis, mereka hanya peduli pemimpin keluarga di saat sehat. Ketika sakit, jangan harap ada perhatian.
"Kau...!" hardik John Riantama marah. Rupanya ia mengenali Abi Assegaf.
Abi Assegaf mendekat. John Riantama sangat mirip Deddy. Mata sipitnya, wajah orientalnya, pembawaannya, dan sifat to the pointnya.
"Kau tidak diharapkan!" geram John Riantama.
"Saya harap Anda cepat sembuh." balas Abi Assegaf tulus.
Empati menyentuh lembut hatinya. Abi Assegaf merasa jauh lebih beruntung. Ia masih bisa berjalan, walau tertatih. Masih bisa bernafas, walau masih sering bergantung dengan tabung oksigen. Masih sanggup beraktivitas, meski tak sesering dulu. Bahkan sesekali masih kuat bersiaran. Melihat kondisi John Riantama membuatnya semakin bersyukur.
"Syukur! Makanya, jangan jahatin Abiku!" maki Syifa dalam bisikan. Ia mengintip John Riantama di luar kamar. Tidak sopan, bisa-bisa Abi Assegaf menegurnya kalau tahu. Tapi, putri kampus itu terlanjur sakit hati.
"Syifa..." Adica pelan memperingatkan, mengusap-usap lengannya.
Silvi tak kalah gemasnya dengan Syifa. Rasakan, pikirnya kesal. Tempo hari John Riantama berdoa hal buruk untuk Abi Assegaf. Kini, doa itu malah berbalik mengenai dirinya sendiri.
Revan dan Calvin jauh lebih tenang. Mereka mengawasi dari jauh. Kagum dan bangga pada sosok ayah hebat di dalam sana.
Seorang suster masuk membawa food trolley. Abi Assegaf menerima nampan sarapan darinya. Menu oriental. Bubur congee-bubur nasi ringan dengan topping kacang merah, sayuran, dan daging-ditemani segelas teh krisan. Sama seperti rumah sakit bertaraf internasional lainnya, pasien boleh memilih menu. Pilihannya beragam: menu Indonesia, Barat, dan oriental.
"Pergi kamu dari sini!" bentak John Riantama.
"Saya akan pergi kalau Anda sudah makan." ucap Abi Assegaf.
Setelah berkata begitu, Abi Assegaf mengambil sendok. Disuapinya John Riantama dengan sabar. Ditunggunya saat pria yang terpaut 7 tahun dengannya itu mengunyah dan menelan. Lama sekali John Riantama mengunyah dan menelan makanannya.
Di suapan kelima, John Riantama kesulitan mengunyah. Abi Assegaf lebih dulu mengunyahkan makanan itu sebelum kembali menyuapkannya. Sabar, sabar sekali Abi Assegaf menyuapi orang yang terus menghinanya.
"Sebenarnya saya benci dirawat olehmu! Kamu hanya perusak! Kamu merusak adik saya!"
Abi Assegaf mendengarkan, mendengarkan hinaan-hinaan untuknya. John Riantama mengatainya perusak, pembuat pencitraan, dan penipu. Masih saja Abi Assegaf disalahkan karena membuat Deddy keluar dari agama lamanya. Kesalahan yang dituduhkan serasa tak termaafkan.
"Abi terlalu baik...seharusnya Abi tak usah memaafkan dia." komentar Silvi tajam.
Revan menyentil hidung adiknya. "Abi itu pemaaf, Silvi. Memangnya kamu? Yang susah lupa dan sulit memaafkan?"
Sulit, sulit bagi Abi Assegaf untuk tidak peduli. Konglomerat ini sakit dan tak ada yang peduli padanya. Abi Assegaf sangat kasihan. Kasih yang mendorongnya menyuapi John Riantama sambil mendengarkan hinaan-hinaannya. Bila dia harus melakukannya tiap pagi, dia tak keberatan.
Lembut dan sabar sekali Abi Assegaf menyuapi John Riantama. Seraya mengunyah sarapannya, John Riantama mengungkapkan hate speech pada pria baik hati itu.
"Saya membencimu, Assegaf. Jangan harap saya akan memaafkanmu. Sampai abu jenazah dihanyutkan ke laut, saya takkan memaafkanmu."
Adica, Syifa, Calvin, Revan dan Silvi tak habis pikir dengan lelaki setengah hidup itu. Bisa-bisanya sempat menghina dalam keadaan sakit. Hati mereka sakit mendengar caci-maki untuk Abi Assegaf. Bukan mereka yang dimaki, tetapi sakitnya terasa sekali.
"Mengapa kamu baik pada saya?" sergah John Riantama kasar.
"Mau menertawakan saya karena sakit? Mau lihat kehancuran saya?"
"Tidak, John. Saya hanya ingin kamu tahu kalau kamu tidak sendirian."
Jawaban lembut, sangat lembut. Abi Assegaf begitu tulus saat mengatakannya. John Riantama terpagut dalam kejut.
"Lihat saja! Kamu sendiri akan hancur! Kanker paru-paru akan memperpendek usiamu!"
Walau nafas dan usianya tak panjang, Abi Assegaf bersyukur masih diberi hidup. Kesempatan hidup, hadiah Tuhan paling berharga.
Arlita tiba di rumah sakit. Matanya tak berkedip menatapi apa yang dilakukan sang suami. Melihat Arlita, hati Silvi tercabik rasa bersalah. Sama bersalahnya seperti pada Calvin.
Benak Arlita diselimuti haru. Rasa cinta membuncah. Sungguh, dia beruntung memiliki suami sesempurna itu. Bola matanya berawan, siap menghamburkan hujan. Mualaf cantik Indo-Jerman itu teringat kisah Rasulullah dan pengemis Yahudi. Tiap pagi, Baginda Nabi menyuapi kakek Yahudi buta yang terus menghinanya. Si kakek itu tak tahu jika yang menyuapinya tiap pagi adalah Nabi Muhammad yang selalu ia hina dan caci-maki.
John Riantama tak lelah memaki. Ia baru berhenti saat Abi Assegaf selesai menyuapi dan meminumkan obat. Itu pun karena ia tertidur di bawah pengaruh obat.
Keluar ruang rawat VIP, Abi Assegaf dipeluk hangat Arlita. Wanita itu mencium keningnya, lembut berbisik.
"Kau belahan jiwaku, Zaki Sayangku. Berbuat kebaikan pada orang miskin dan orang baik itu biasa. Berbuat baik pada orang jahat, itu luar biasa."
Abi Assegaf tersenyum, mendaratkan fast kissnya. Ia melepas pelukan Arlita dengan lembut.
"Aku tidak melakukan apa-apa, Arlita. Jangan berlebihan." ujarnya merendah.
Langit masih seputih mutiara. Rinai gerimis melebat menjadi hujan. Kedua tangan Abi Assegaf terangkat. Tatapannya terarah ke langit. Ia berdoa, berdoa kesembuhan John Riantama. Jika Deddy tahu percikan kasih yang ditebarkan sahabatnya di atas bongkahan kebencian, apa reaksinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H