"Bukan salahmu. Aku yang salah. Kondisiku drop saat kamu sibuk."
Namanya penderita penyakit kronis, mana bisa diprediksi dengan mudah? Di satu waktu, keadaannya stabil. Di waktu lain, bisa saja turun drastis.
Mendengar dialog singkat itu, mau tak mau Calvin teringat dirinya sendiri. Terlempar dalam deja vu, dia mengingat awal-awal Accute Lymphocitic Leukemia (ALL) menyerangnya. Sungguh tak enak harus menyusahkan orang-orang yang dia cintai.
Roda berputar. Situasi berbalik tajam, setajam gerakan roller coaster yang menakuti penumpangnya. Kini, Abi Assegaf yang berjuang melawan rasa sakit. Itulah alur kehidupan. Misterius, sulit ditebak, namun mengandung banyak pelajaran berharga. Jika sudah begitu, manusia hanya bisa mengambil kepingan mozaik pelajaran berharga di setiap kejadian.
** Â Â Â Â
Maghrib berganti Isya. Arlita dan Calvin shalat di kamar biru. Malam ini, laut terdengar begitu tenang. Deburan ombaknya tak seatraktif siang tadi.
Dengan terpaksa, Abi Assegaf shalat sambil berbaring. Shalat dengan cara kurang normal tak mengurangi intensi kedekatannya dengan Illahi. Ia tetap khusyuk, bahkan merasa lebih dekat.
Dalam keheningan transendental, tetiba terdengar suara gaduh di anak tangga. Lebih dari sepasang kaki berjalan naik. Disusul bunyi debam pintu membuka.
"Abi!"
Adica dan Syifa berlarian masuk ke kamar. Syifa menangis, meraih tangan Abi Assegaf dan menciuminya. Sementara itu, Adica berdiri terpaku. Hatinya tercabik kesedihan dan penyesalan.
"Sssttt...apa-apaan kalian ini? Abi kalian sedang shalat, jangan diganggu!" kata Arlita galak.