Syifa menunduk malu, pelan melepaskan tangan kurus Abinya. Kepala Adica tertunduk lebih dalam lagi. Tak disangkanya situasi di rumah serumit ini.
"Berterima kasihlah pada Calvin. Saat kita tidak ada, dialah yang rawat Abi kalian."
Langsung saja Syifa melempar diri ke pelukan Calvin. Dia tak bisa membayangkan apa jadinya Abi Assegaf bila tak ada Calvin. Tembok gengsi yang sangat kokoh di hati Adica mencegahnya mengucap kata sakti terima kasih. Rasanya enggan sekali mengakui kebaikan hati kakak kandungnya.
"Abi, aku minta maaf. Seharusnya aku tak meninggalkan Abi...!" kata Syifa sedih saat Abinya selesai shalat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Syifa. Abi baik-baik saja." Abi Assegaf berujar menenangkan.
"Abi, bagaimana kalau aku mengundurkan diri saja sebagai putri kampus? Biar aku fokus merawat Abi."
Nekat, sebuah usulan nekat. Arlita menatap tajam putrinya. Adica terbelalak. Calvin mengerutkan dahi. Wajah Abi Assegaf berubah sendu.
"Syifa Sayang, Abi tak pernah mengajarimu melanggar komitmen. Kamu harus bertanggung jawab atas pilihanmu. Abi tidak ingin menjadi perusak impianmu. Bukankah kedudukan putri kampus yang selama ini kauinginkan?"
Suara Abi Assegaf begitu lembut, sarat kesedihan. Sedih hatinya karena telah menjadi penghalang cita-cita sang putri. Sesaat Abi Assegaf merasa dirinya ayah tak berguna.
"Jangan mundur dari putri kampus, Syifa." cegah Adica.
"Kalau ada yang akan menjaga Abi, itu aku. Takkan kubiarkan kejadian ini terulang lagi."