Bagai bulan dikekang malam (Rossa-Bulan Dikekang Malam).
Abi Assegaf memainkan biola dengan sedih. Hatinya perih, perih luar biasa. Benarkah hidupnya sudah tak ada harapan? Zaki Assegaf yang sekarang bukanlah Zaki Assegaf yang dulu.
Kanker paru-paru mengisap habis harapannya. Ah, lagi-lagi kanker itu mengirimkan rasa sakit. Abi Assegaf mencengkeram dadanya. Sakit ini, mengapa harus datang kala ia benar-benar sendirian?
"Abi Assegaf sendirian...saya harus memantaunya lewat CCTV." jelas Adica.
Produser acara dan pengarah teknik bergumam mengerti. Belum sempat aplikasi yang tersambung dengan CCTV di rumah terbuka, iPhonenya mati. Adica menggeram marah. Bagaimana mungkin ia bisa begitu bodoh membawa iPhonenya dalam kondisi lowbat? Charger dan power banknya tertinggal pula.
"Sudahlah...Abi Assegaf akan baik-baik saja. Abi Assegaf kuat, kita tahu itu."
Penghiburan produsernya tak meredakan kegalauan Adica. Sungguh, ia mencemaskan Abinya. Tak ada yang memahami betapa cemas Adica saat ini. Andai tak terikat durasi siaran, ingin sekali ia kabur pulang sekarang juga.
** Â Â Â
"Ya, Allah, apakah sekarang waktunya?" rintih Abi Assegaf menahan sakit.
Biola terjatuh. Pria tampan itu mempererat cengkeramannya di dada. Sakit ini begitu terasa, menusuk hingga ke dalam. Seakan tulang-tulang dadanya dilolosi satu per satu.
Abi Assegaf terbatuk. Darah menjatuhi telapak tangannya. Mungkin hemoptisis dirasa belum cukup. Menit berikutnya...Abi Assegaf muntah darah. Lantai putih di bawah kakinya memerah. Noda-noda darah mengambang di lantai.