Benarkah Allah membiarkannya sendirian? Ternyata tidak. Enam pelayan di lantai bawah sontak terperangah ketika menatapi CCTV yang terpasang di ruang tamu. Mereka berlari ke lantai atas. Teriakan panik memenuhi balkon. Salah seorang dari mereka berinisiatif mengambil telepon genggam. Menelepon Adica, nomornya tidak aktif. Syifa sama saja. Pilihan terakhir jatuh pada Arlita.
"Assalamualaikum, Nyonya. Nyonya masih di butik? Tuan Zaki..."
"Tuan Assegaf! Hanya aku yang berhak memanggil nama depannya!" bentak Arlita di seberang sana.
"Ada apa dengan suamiku?"
Pelayan itu hetic juga gegara gertakan Nyonya besarnya. Tergeragap ia menjelaskan.
"Tuan Zaki...oh, maksud saya Tuan Assegaf muntah darah, Nyonya."
"Apa? Bagaimana bisa?" jerit Arlita histeris.
Si pelayan mengangkat bahu. Lupa kalau Arlita tak bisa melihatnya.
"Baiklah, saya pulang sekarang juga. Tolong panggil dokter. Cepat!"
Pulang sekarang juga, benarkah akan dilakukannya? Ataukah hanya sekedar ucapan? Setelah menutup pembicaraan, Arlita malah kedatangan mantan kekasihnya. Pria perlente berjas rapi itu datang ke butik membawakan sebuket bunga krisan.
Arlita tak punya sisa nafas untuk merespon pengusaha mebel itu. Kondisi Abi Assegaf jauh lebih penting. Tanpa kata, dilewatinya si mantan kekasih seolah sosoknya hanya guci selamat datang.