Nampaknya Calvin Jeremy memahami isi hati Arlita. Hati seorang istri yang selalu setia pada suaminya walau sang suami kemungkinan besar akan pergi lebih dulu.
"Assegaf, tolong jangan bicara kematian." pinta Arlita.
"Why not? Semua orang akan mati..."
Mati, mungkin saja kasih sayang Calvin untuk Papanya telah mati. Sebab sesosok ayah lain merebutnya. Tuan Effendi frustrasi. Ia tak suka kedua putranya terlalu dekat dengan Abi Assegaf.
Calvin bergerak resah di tempatnya. Sungguh ia tak mengerti. Salah apa Abi Assegaf pada Papanya? Bukankah selama ini Abi Assegaf sangat baik? Sejak perkenalan mereka dulu di rumah sakit, hingga kini waktu berlalu. Orang tua memang absurd.
** Â Â Â
Malam melarut. Jarum jam merangkak mendekati angka dua belas. Abi Assegaf tak bisa tidur. Kesakitan menyita waktu tidurnya. Justru istri dan kedua anaknya yang tertidur kelelahan.
Merasa bersalah, Abi Assegaf pelan-pelan beranjak bangun. Ia tertatih ke walk-in closet. Diambilnya tiga helai selimut tebal. Dengan lembut, Abi Assegaf menyelimuti Arlita, Adica, dan Syifa. Dikecupnya kening mereka satu per satu.
Perasaannya lebih tenang saat kembali ke tempat tidur. Alunan lagu terakhir di radio menyentuh rasa. Sebentar lagi, durasi siaran Refrain Radio usai. Refrain Radio mengudara selama 19 jam. Refrain memulai siaran sejak pukul lima pagi hingga pukul dua belas malam.
Tepat pukul dua belas, siaran usai. Kesunyian menyusul. Dalam keheningan malam, Abi Assegaf bersyukur. Syukur karena Refrain Radio tetap baik-baik saja meski tanpa dirinya.
Pelan diraihnya iPhone. Dicarinya kontak seseorang. Nada telepon tersambung. Tak lama, muncul seraut wajah berikut pemandangan bangku pengemudi sebuah mobil yang sedang melaju. Request Skypenya terjawab.