Malamnya, kondisi Abi Assegaf kembali drop. Enam jam siaran sukses mengisap daya tahan tubuhnya. Sakit luar biasa itu datang tanpa permisi.
Berawal saat makan malam. Keempat anggota keluarga Assegaf duduk mengitari meja makan. Suara radio terdengar di latar belakang. Jangan heran bila di rumah Abi Assegaf tersedia pesawat radio di tiap ruangannya.
Abi Assegaf terlihat tak berselera menyentuh makanannya. Ia hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya. Radar kewaspadaan Arlita bekerja.
"Kenapa, Sayang? Kok tidak dimakan? Tak suka menunya ya?"
Adica dan Syifa tak kalah waswas. Piring mereka hampir bersih. Setiap hari adalah kecemasan. Mereka takut, takut sekali terjadi sesuatu yang buruk pada Abi Assegaf.
"Aku sudah selesai," kata Abi Assegaf cepat, lalu mendorong kursinya ke belakang.
Ia bangkit tanpa sedikit pun menyentuh makan malamnya. Arlita ikut bangkit. Tak lagi memedulikan setengah isi gelas tehnya. Lembut disentuhnya lengan Abi Assegaf. Anorexia lagikah? Bukankah pagi tadi efek samping kemo itu telah hilang?
Baru beberapa langkah menuju pintu ruang makan, Abi Assegaf terjatuh. Dadanya terasa ditusuk ribuan jarum. Adica berlari mendekat, mengangkat tubuh Abinya. Syifa dan Arlita khawatir luar biasa.
"Luar biasa...apa yang kaulakukan sepanjang hari ini, my Dear Calvin?" tanya Tuan Effendi tajam.
Calvin menghempaskan tubuhnya di sofa. Meraih remote AC, menekan tombol off. Ia sengaja menghindari pandangan menyelidik Papanya.
"Jawab Papa. Bukankah anak harus menjawab pertanyaan orang tua?"