"Muntahkan, Sayang."
Abi Assegaf kembali muntah. Mau tak mau Calvin teringat awal-awal masa kemoterapi. Apa yang dirasakan Abi Assegaf pernah dirasakannya. Ternyata Adica memikirkan hal yang sama. Sepasang kakak-beradik itu tercabik, antara sedih dan mengingat kenangan lama.
"Abi...Abi istirahat saja. Mau ke kamar? Aku bantu." tawar Syifa halus.
Pria Arab-Indonesia itu menolak. Dia ingin tetap di sini. Berbaring berjam-jam di dalam kamar tidur luas dan berpendingin udara bukanlah pilihan untuknya. Hari ini, waktunya ingin dia habiskan bersama istri dan anak-anaknya.
Syifa menyerah. Tak lagi berusaha membujuk Abinya. Sekeping kecemasan, lagi-lagi menjatuhi atap rumah pinggir pantai itu.
** Â Â Â
Anak yang baik takkan meninggalkan ayahnya di kala sakit. Itulah yang dilakukan Adica dan Syifa. Calvin pun tak kemana-mana. Malam itu mereka stay di rumah tepi pantai.
Abi Assegaf demam tinggi. Keadaannya kurang baik sepanjang sisa hari itu. Arlita menjaganya dengan sabar. Adica, Syifa, dan Calvin tak pernah beranjak dari sisi Abi Assegaf. Kehadiran orang-orang terkasih adalah obat paling manjur.
Tim medis cepat-cepat dipanggil. Mereka siaga menjaga pasien istimewa. Psekilas kamar tidur Abi Assegaf menyerupai paviliun rumah sakit.Â
Alat kedokteran dimana-mana. Sebenarnya, Abi Assegaf resah melihat banyaknya alat kesehatan di rumah. Namun, ia terlanjur luluh melihat kesungguhan Adica memindahkan alat-alat itu demi dirinya.
Andai ia boleh memilih. Ingin sekali Abi Assegaf melepaskan diri dari ketergantungan tabung oksigen. Bernafas dengan paru-paru sendiri jauh lebih baik. Sayang sekali, alat medis yang paling dibencinya itu masih harus terpasang.