Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Langit Seputih Mutiara" Penjaga Pesan Malaikat

14 November 2018   06:00 Diperbarui: 14 November 2018   06:08 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Muntahkan, Sayang."

Abi Assegaf kembali muntah. Mau tak mau Calvin teringat awal-awal masa kemoterapi. Apa yang dirasakan Abi Assegaf pernah dirasakannya. Ternyata Adica memikirkan hal yang sama. Sepasang kakak-beradik itu tercabik, antara sedih dan mengingat kenangan lama.

"Abi...Abi istirahat saja. Mau ke kamar? Aku bantu." tawar Syifa halus.

Pria Arab-Indonesia itu menolak. Dia ingin tetap di sini. Berbaring berjam-jam di dalam kamar tidur luas dan berpendingin udara bukanlah pilihan untuknya. Hari ini, waktunya ingin dia habiskan bersama istri dan anak-anaknya.

Syifa menyerah. Tak lagi berusaha membujuk Abinya. Sekeping kecemasan, lagi-lagi menjatuhi atap rumah pinggir pantai itu.

**     

Anak yang baik takkan meninggalkan ayahnya di kala sakit. Itulah yang dilakukan Adica dan Syifa. Calvin pun tak kemana-mana. Malam itu mereka stay di rumah tepi pantai.

Abi Assegaf demam tinggi. Keadaannya kurang baik sepanjang sisa hari itu. Arlita menjaganya dengan sabar. Adica, Syifa, dan Calvin tak pernah beranjak dari sisi Abi Assegaf. Kehadiran orang-orang terkasih adalah obat paling manjur.

Tim medis cepat-cepat dipanggil. Mereka siaga menjaga pasien istimewa. Psekilas kamar tidur Abi Assegaf menyerupai paviliun rumah sakit. 

Alat kedokteran dimana-mana. Sebenarnya, Abi Assegaf resah melihat banyaknya alat kesehatan di rumah. Namun, ia terlanjur luluh melihat kesungguhan Adica memindahkan alat-alat itu demi dirinya.

Andai ia boleh memilih. Ingin sekali Abi Assegaf melepaskan diri dari ketergantungan tabung oksigen. Bernafas dengan paru-paru sendiri jauh lebih baik. Sayang sekali, alat medis yang paling dibencinya itu masih harus terpasang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun