Cermin besar di kamar tidur mewah bernuansa biru itu memantulkan refleksinya. Ini bukan kamarnya. Ia hanya meminjam satu dari tujuh kamar di rumah tepi pantai untuk berpakaian dan touch up.
Seraut wajah tampan itu tak sepucat dulu. Lingkaran hitam pertanda keletihan di bawah matanya perlahan menghilang. Meski demikian, tanda-tanda sakit masih terlihat. Dari bobot tubuhnya yang menurun drastis, jari-jari lentiknya yang kini rapuh, dan rambutnya yang kian menipis.
"Ah...!" serunya tertahan, melihat helai rambutnya rontok ke lantai.
Awal-awal kemoterapi, pemuda tampan itu sempat down saat melihat helai rambutnya yang berguguran. Namun, kini ia sudah terbiasa. Leukemia telah merampas beberapa hal dari hidupnya: waktu, proposal skripsi, rambut, dan karier modeling.
"Kamu tetap tampan, Calvin. Apa pun..."
Suara lembut diikuti bunyi geseran pintu kaca mengalihkan perhatian. Silvi berjalan anggun dari arah balkon kamar. Sosoknya begitu cantik dalam balutan gaun Dolce and Gabbana berwarna biru. Biru, senada dengan warna matanya.
"Kamu cantik sekali, Silvi." bisik Calvin, menatap kagum gadisnya.
Rona merah menepi di wajah Silvi. Ia peluk Calvin dari belakang.
"Kau harus lihat Syifa. Dia jauh lebih cantik hari ini."
"Tidak, tidak. Bagiku, kamulah yang tercantik."
"Kalau ada Mama Rose gimana?"