"Kalian berdua mau tahu, kapan kami akan menikahi kalian?" tanya Calvin tetiba. Sukses membuat Silvi dan Syifa menengadah penasaran.
"Setelah kami sembuh." Adica dan Calvin menjawab kompak.
"Wow, kompak sekali. Jangan-jangan sudah kalian rencanakan jawabannya." Silvi tak tahan tak berkomentar. Dihadiahi cubitan gemas Calvin di hidungnya.
Tapi, percayalah jawaban kedua pemuda tampan orientalis ini tulus dari hati. Mereka punya alasan untuk menunggu kesembuhan sebelum menikahi Silvi dan Syifa. Bagaimana bisa menjadi suami yang baik jika tubuh masih digerogoti penyakit? Sebelum menjaga orang lain, jaga dulu diri sendiri.
"Hei...nanti kalau kalian sudah menikah, jangan lupakan aku. Carikan pasangan dong buatku." Revan menimpali, berjalan menghampiri mereka dengan segelas green tea.
Keempatnya bertukar pandang. Mungkin ini hanya soal waktu. Mudah bagi pria setampan Revan merebut hati seorang gadis. Ia lebih atraktif dibandingkan kebanyakan pria Indonesia lain sepantarannya karena warna rambut dan mata. Revan pun pintar, termasuk high quality single. Apa susahnya? Hanya masalah waktu. Waktu akan mempertemukan hati, jodoh, dan cinta.
** Â Â Â
Dua meja besar berisi penuh makanan lezat. Karangan bunga menggunung. Wangi kue dan daging panggang menunggang udara. Gelas-gelas berisi minuman segar diedarkan. Wajah-wajah penuh senyum, bahkan enam pelayan di rumah itu ikut tersenyum. Tuan rumah bahagia, mereka pun kecipratan berkah. Blessing in disguise.
Di antara pusaran kebahagiaan, Tuan Effendi dan Nyonya Roselah yang tak bahagia. Senyum mereka dipaksakan. Mereka berdua hanya pura-pura bahagia. Bukankah pura-pura bahagia itu sakit?
Dokter Tian ikut bahagia, namun secukupnya saja. Ia lebih memikirkan perasaan dua sahabat lamanya. Dengan gelisah, Nyonya Rose menanyai Dokter Tian usai menikmati sajian zuppa soup dan main course.
"Tian, kapan kami boleh membukanya?"