Sejak kecil, Calvin dekat dengan ayahnya. Tuan Effendi lebih dari sekedar ayah. Beliau sahabat, orang tua, pendidik, dan Imam yang baik. Tak heran Calvin lebih nyaman dirawat Tuan Effendi saat sakit.
"Sakit? Anak itu sakit dan butuh kamu?" Deddy tertawa sinis. Dijajarinya langkah Abi Assegaf.
"Iya. Sudahlah, Deddy...Sasmita. Kalian tak mengerti." sergah Abi Assegaf.
Sasmita menahan tangan Abi Assegaf saat akan membuka pintu mobil. "Kau lebih percaya anak muda itu dibandingkan teman-teman lamamu? Assegaf, bahkan dia pernah masuk penjara!"
"Aku tak peduli!" Abi Assegaf yang biasanya lembut dan sabar, berteriak di depan wajah Sasmita.
Peduli? Ya, Calvin peduli pada pasien-pasien miskin itu. Hampir tiap hari ia datangi mereka di bangsal kelas tiga. Mendengarkan curahan hati, keluh kesah, dan tangis kesedihan mereka. Memberi mereka makanan enak dan pakaian bagus. Melunasi biaya rumah sakit yang mencekik. Pagi ini, Tuan Effendi menyempatkan diri menemani anak semata wayangnya menebar kasih.
Lihatlah pemuda berkacamata itu. Setiba di sal kelas tiga, beberapa pasien anak bertubuh kumal berebutan memeluknya. Sepasang pasien paruh baya tersenyum lebar memperlihatkan gigi ompong mereka. Beberapa pasien muda langsung membanjirinya dengan kesah dan cerita. Calvin begitu dicintai di sini.
"Aku mencintai Adica seperti aku mencintai Syifa." tandas Abi Assegaf.
Deddy bertolak pinggang. Sasmita melotot. Pikir mereka, Abi Assegaf telah terbutakan cinta.
"Kau mencintai anak yang salah."
Tidak, Calvin sama sekali tak menganggap ini kesalahan. Memperhatikan dan mengasihi pasien miskin di bangsal kelas tiga justru sebuah kemuliaan. Melunasi biaya rumah sakit mereka masuk list agenda filantropi malaikat tampan bermata sipit itu.
"Papa bangga padamu, Sayang. Kamu begitu baik...begitu penyayang."
Sifat penyayang menggerakkan hati Abi Assegaf. Dia telah membuat pilihan. Bahkan, teman-teman lamanya yang mengaku loyal tak bisa lagi mencampuri pilihan itu.
"Anak bodoh! Apa yang telah dilakukannya hingga meracuni pikiran Assegaf?" maki Sasmita.
Sang pria berlesung pipi tak mendengar makian Sasmita. Ia telah meluncur pergi dengan Honda Jazznya. Adica butuh dirinya, itu benar. Sama sekali tidak salah ketika seorang ayah rindu merawat dan mengasihi seorang anak. Cinta datang begitu indah untuk hati yang kesepian.
** Â Â
Kau dan aku
Tercipta oleh waktu
Hanya untuk saling mencintai
Mungkin kita ditakdirkan tuk bersama
Rajut kasih
Menjalin cinta
Berada di pelukanmu
Mengajarkanku apa artinya kenyamanan
Kesempurnaan cinta
Berdua bersamamu
Mengajarkanku apa artinya kenyamanan
Kesempurnaan cinta (Rizky Febian-Kesempurnaan Cinta).
Adica memainkan biola sambil bernyanyi. Calvin menarikan jemari lentiknya di atas grand piano. Di rumah bergaya Skandinavian House milik Umminya, wajah Syifa merona merah. Rona bahagia menepi di wajah Silvi, membuat paras jelitanya kian memikat.
"Kamu suka lagunya?" tanya Calvin, tersenyum menyambut Silvi yang berdiri anggun di depan pintu ruang rawat VIP.
"Suka sekali, Adica. Aku suka dinyanyikan lagu oleh pria yang kucintai. Dulu, Abi sering melakukannya untukku."
Hanya Adica dan Abi Assegaf yang sanggup bernyanyi begitu bagus untuk Syifa. Hanya mereka pulalah yang paling dicintainya.
"Love you..." bisik Silvi. Calvin mencium pipinya.
"Love you too," Adica tersenyum tulus. Menatapi wajah gadisnya di layar iPhone.
Sepinya Skandinavian House Arlita dimanfaatkan Syifa untuk video call dengan Adica. Ia sedikit menyesal, di hari kemo kedua justru tak bisa berada di sisi pemudanya. Sang Ummi kelewat posesif. Jadwal kemoterapi kedua berbenturan dengan hari ulang tahun Arlita.
"Apa Ummimu sudah tahu?" tanya Adica hati-hati.
"Tahu apa, Silvi?" Calvin tersenyum, menunggu Silvi melanjutkan ceritanya dengan sabar.
Sebagai jawaban, Silvi menunjukkan iPadnya. Laman sebuah situs terbuka. Di sana, terlihat sebuah artikel. Sekilas membaca saja, Calvin paham. Tulisannya di-copast.
Marahkah Calvin? Sama sekali tidak. Ia malah berpikiran positif. Jika tulisannya di-copy paste, itu berarti ada yang mengakui tulisannya bagus. Untuk apa marah?
"Calvin, kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, Adica. Ummi membebaskanku memilih." Syifa berujar menenangkan.
Kekhawatirannya terurai. Semula, ia kira Arlita takkan setuju. Berat bagi orang tua membiarkan putrinya berhubungan dengan pemuda yang sakit dan entah kapan akan sembuh.
"Aku ingin sembuh, Silvi. Salah satu caranya berpikir positif. Bila aku terus berpikiran negatif, aku akan tambah sakit." jelas Calvin sabar. Disambuti anggukan Silvi. Sejak divonis kanker darah, Calvin semakin baik dan penyabar. Makin religius pula.
"Kekagumanku padamu...sebesar cintaku, Calvin." ucap Silvi tulus.
** Â Â
Langkah Abi Assegaf menapaki lantai balkon. Sepatu mahalnya menderap di lantai marmer. Adica masih fokus pada Syifa. Begitu pun sebaliknya.
Tak ada kebetulan di dunia. Tepat pada saat itu, Arlita menghampiri Syifa. Sosok Abi Assegaf dan Arlita terpantul jelas di layar.
"Abi?"
"Ummi?"
Adica dan Syifa berucap bersamaan. Tersadar dengan kehadiran orang tua mereka. Arlita tersenyum penuh arti. Di tangannya, tergenggam spatula. Ia belum melepaskan apron putihnya.
"Sudah selesai kan video callnya? Syifa, turun ke dapur sekarang. Cepat!"
Kegalakan Arlita membungkam Syifa. Ia tergeragap, buru-buru turun ke dapur menyusul Umminya. Hanya tiga orang yang bisa membuat Syifa takluk: Abi Assegaf, Arlita, dan Adica. Cinta, jadi sumber kekuatan sekaligus kelemahan.
"Anakku...waktunya ke rumah sakit." kata Abi Assegaf lembut.
Adica mengangguk. Perlahan mengikuti langkah Abinya ke lantai bawah.
Satu dari tiga supir pribadi telah menunggu. Kali ini, Abi Assegaf ke rumah sakit bersama supir. Maksud hati ingin fokus mendampingi pemuda tampan yang telah jadi "anak lelaki"nya secara total.
Mobil meluncur menjauhi tepi pantai. Adica dan Abi Assegaf duduk bersisian di bangku mobil. Lihatlah bagaimana cara pria berlesung pipi itu menguatkan anak lelakinya.
"Nak, cinta...saat kemo nanti, jangan bayangkan rasa sakit yang akan terasa. Atur pikiranmu, alihkan dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan."
Hal-hal yang menyenangkan? Bahagianya ia bila bisa berkumpul lagi dengan Michael Wirawan. Tak kalah membahagiakan menjalani saat-saat bersama Abi Assegaf. Syifa, satu sosok lain yang membangkitkan semangat hidupnya.
Mulailah Abi Assegaf menceritakan banyak hal membahagiakan. Ia bercerita dengan teknik theatre of mind, teknik keunikan penyiar dalam menyampaikan kata-kata hingga membuat pendengar bisa membayangkan tiap kata yang diucapkannya. Theatre of mind membuat pendengar dapat berimajinasi. Seakan penyiar berbicara langsung tepat di depan mereka.
Mendengar cerita Abi Assegaf, Adica merasa nyaman. Kenyamanan melahirkan ketenangan. Ketenangan menghasilkan kekuatan. Kekuatan itulah yang membuatnya tegar melangkah ke ruangan kemoterapi.
** Â Â
Genggaman tangan Abi Assegaf tak terlepas. Jarum-jarum suntik menghujam tusukan. Sakit, jelas sangat sakit. Namun...
"Ada pembengkakan di tangan kirinya." kata perawat cemas, melirik tangan kiri Calvin.
Tuan Effendi mengikuti arah pandang perawat. Benar, terdapat pembengkakan di bagian yang terpasang infus. Calvin pun melihatnya. Apa lagi kali ini?
"Pindahkan saja infusnya."
Baiklah. Abi Assegaf menyerah. Ia takkan lagi berpura-pura. Gumpalan awan di matanya bertransformasi jadi hujan. Ayah mana yang tak menangis saat anaknya kesakitan luar biasa? Sekalipun sang ayah tidak punya ikatan darah dengan anak itu.
"Itu menyakitkan...sangat menyakitkan." desah Tuan Effendi frustrasi.
Bagaimana tidak frustrasi? Perawat mencoba tusukan di tangan kanan, tapi gagal. Calvin kembali merasakan sakit. Kelewatan, diinfus saja harus sakit juga seperti dikemoterapi.
"Cukup!"
Ingin rasanya komisaris utama Assegaf Group itu berteriak. Menghentikan Dokter Tian "menyakiti" anaknya. Berat, berat sekali bagi sosok ayah penyayang menyaksikan permata hatinya dijejali rasa sakit.
"Adica anakku...cintaku, kuat ya. Ini takkan lama...ini takkan lama."
Lama perawat itu mencoba. Tusukan di tangan kanan. Sekali percobaan tusukan di kaki kiri. Gagal lagi. Tusukan berpindah ke lengan kiri. Nyaris saja Calvin tak tahan sakit.
Wajah teduh nan berwibawa Tuan Effendi berubah tegang. Kalian takkan temukan raut wajah setegang itu saat beliau ada di kantor. Di hadapan ribuan karyawannya, mana mungkin sebersit ketegangan ditampakkan? Tapi di sini, lain lagi ceritanya.
"Hentikan! Jangan tusuk anakku lagi! Hentikan!" hardik Tuan Effendi. Ia memeluk Calvin erat.
Pelukan? Hadiah terindah setelah kemo kedua. Pelukan menjadi jalan pembebasan dari rasa sakit. Pelukan hangat melepas ketegangan. Itulah hadiah terindah pemberian Abi Assegaf untuk Adica.
Dokter Tian tersenyum, lekat memperhatikan. Tabung kecil berisi cairan merah tersimpan aman di sakunya. Dalam hati ia memohon ampun pada raja dari segala raja bila perbuatannya salah. Dia hanya ingin mengembalikan takdir. Zaki Assegaf bukannya kurang baik. Hanya saja, ia terlalu cinta hingga mengingkari realita.
** Â Â
Dua penyiar senior itu tertawa-tawa di studio. Botol minuman beralkohol terbuka di depan mereka. Jika Abi Assegaf melihatnya, dipastikan mereka langsung angkat kaki dari Refrain Radio.
"Assegaf benci alkohol. Kita perdaya saja dia. Kau setuju, Sasmita?" usul Deddy.
Sasmita mengangguk. Diteguknya minuman haram itu dengan hati puas.
"Aku tak ingin Assegaf dimanfaatkan anak bodoh itu. Anak muda tak tahu diri, pernah masuk penjara lagi!" umpat Sasmita kejam.
Cairan kekuningan di dalam botol mulai menipis. Deddy membuka tasnya, mengacungkan botol minuman yang tersegel rapi.
"Ini untuk mengecoh Assegaf. Jangan kauminum. Kau sudah kebanyakan minum hari ini."
Peringatan Deddy benar juga. Tetes terakhir alkohol ditandaskannya, lalu Sasmita beranjak. Waktu terus berjalan. Saatnya menjatuhkan seseorang.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H