"Love you..." bisik Silvi. Calvin mencium pipinya.
"Love you too," Adica tersenyum tulus. Menatapi wajah gadisnya di layar iPhone.
Sepinya Skandinavian House Arlita dimanfaatkan Syifa untuk video call dengan Adica. Ia sedikit menyesal, di hari kemo kedua justru tak bisa berada di sisi pemudanya. Sang Ummi kelewat posesif. Jadwal kemoterapi kedua berbenturan dengan hari ulang tahun Arlita.
"Apa Ummimu sudah tahu?" tanya Adica hati-hati.
"Tahu apa, Silvi?" Calvin tersenyum, menunggu Silvi melanjutkan ceritanya dengan sabar.
Sebagai jawaban, Silvi menunjukkan iPadnya. Laman sebuah situs terbuka. Di sana, terlihat sebuah artikel. Sekilas membaca saja, Calvin paham. Tulisannya di-copast.
Marahkah Calvin? Sama sekali tidak. Ia malah berpikiran positif. Jika tulisannya di-copy paste, itu berarti ada yang mengakui tulisannya bagus. Untuk apa marah?
"Calvin, kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, Adica. Ummi membebaskanku memilih." Syifa berujar menenangkan.
Kekhawatirannya terurai. Semula, ia kira Arlita takkan setuju. Berat bagi orang tua membiarkan putrinya berhubungan dengan pemuda yang sakit dan entah kapan akan sembuh.
"Aku ingin sembuh, Silvi. Salah satu caranya berpikir positif. Bila aku terus berpikiran negatif, aku akan tambah sakit." jelas Calvin sabar. Disambuti anggukan Silvi. Sejak divonis kanker darah, Calvin semakin baik dan penyabar. Makin religius pula.