Sebuah suara dingin menahannya. Refleks Abi Assegaf memutar tubuh.
"Hanya ingin menemui anakmu, Effendi. Sudahlah, jangan terlalu formal begitu."
Tuan Effendi mengangkat dagu dengan angkuh. "Calvin sudah tidur. Jangan ganggu dia."
"Aku tidak terganggu, Pa."
Pintu mengayun terbuka. Calvin berdiri tegap di ambangnya. Wajahnya pucat, namun tersimpan gurat antusiasme ingin menemui sang tamu.
"My Dear Calvin? Kembalilah tidur, Sayang. Biar cepat sehat."
Calvin menggeleng. Pelan ia hampiri Abi Assegaf dengan satu tangan menenteng tiang infus. Dipeluknya pria paruh baya berjas dark blue itu. Lama bersahabat dengan orang Turki semacam Revan, Calvin sudah biasa memberi pelukan sesama pria khas Timur Tengah.
"Assalamualaikum, Abi. Abi kemana saja? Lama tidak ke sini..." sapa Calvin hangat.
"Waalaikumsalam, Calvin. Ah, harusnya saya duluan yang kasih salam. Belakangan ini saya sibuk. Saya ingin bicara denganmu...tidak keberatan?"
"Tidaklah, Abi. Ada apa memangnya?"
Keakraban Calvin dan Abi Assegaf sukses menerbitkan raut wajah kusut Tuan Effendi. Namun ia tak bisa apa-apa. Ia perhatikan saja anak tunggalnya berbincang dengan Abi Assegaf.