"Assegaf, lakukan sesuatu. Tegurlah dosen itu. Kau kan donatur terbesar di kampus Syifa."
"Sudah, Arlita. Tapi...kupikir percuma menegur satu orang. Diskriminasi di satu lembaga takkan selesai begitu saja setelah satu pelakunya ditegur. Arlita, diskriminasi itu seperti virus...virus yang merusak cinta kasih."
Terdengar helaan nafas Arlita. Diskriminasi memang menyedihkan. Korban diskriminasi adalah orang-orang teraniaya.
"Hmmm...sulit ya. Fine, satu-satunya jalan yang bisa kaulakukan hanyalah menguatkan anak itu."
Posisi duduk Abi Assegaf menegak. Tangan kirinya mencengkeram setir lebih erat. Ia dengarkan tiap kata. Kerutan di keningnya terurai perlahan.
"...Ayah yang baik harus kuat. Jika anaknya butuh tempat bersandar, saatnya ayah sejati berperan. Kuatkan dia, Assegaf. Kau pasti bisa. Sudah ya, aku shalat Isya dulu."
Klik. Video call berakhir. Abi Assegaf terenyak. Waktu masih Katolik, Arlita rajin mengikuti Misa harian, membaca Alkitab, dan berdoa Rosario. Kini setelah masuk Islam, mantan model dan penyiar itu tak pernah absen shalat lima waktu kecuali saat siklus kewanitaan datang. Ia juga intens bersedekah tiap minggu. Setengah tahun perjalanannya menjadi mualaf, Arlita menunaikan ibadah Haji. Bentuk konsistensi keislaman yang sempurna.
Jerit klakson dan raungan sirine merobek lamunan. Kemacetan sudah berakhir. Abi Assegaf tergeragap, buru-buru melajukan mobil. Tak sempat mobilnya menyentuh pasir pantai. Ia putar balik. Sebentuk gagasan terlintas di pikiran.
** Â Â
Malam membubung. Koridor rumah sakit sesunyi mausoleum. Derap langkah sepatu terdengar begitu keras, seolah volume suara dinaikkan berkali-kali lipat seiring kesunyian yang menggulung rapat. Melewati ruangan demi ruangan, Abi Assegaf tiba di ruang VIP. Kepalan tangannya terangkat siap mengetuk pintu, akan tetapi...
"Mau apa Pak Assegaf ke sini?"