Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Ayah Berhati Lembut itu Menangis

26 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 26 Oktober 2018   06:26 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejuknya pendingin udara tak meredakan keresahan hati. Berulang kali Abi Assegaf melirik Guess di pergelangan tangannya, amat berharap durasi siarannya cepat usai. Jangan heran, pemimpin perusahaan seperti dirinya sangat tepat waktu soal jadwal. Takkan pernah Abi Assegaf mengingkari jadwal yang telah dibuatnya sendiri.

Kaca-kaca jendela berembun. Di dalam studio berlapis kaca serupa akuarium itu, pemandangan di luar sana terlihat jelas. Ruas jalan raya sekitar studio dipadati kendaraan. Selesai jam kantor, riskan jalanan lengang. Klakson bersahutan, mengacak-acak mood para pengguna jalan. Tenang saja, ruang siaran kedap suara. Pekaknya suara-suara bernada emosi di jalanan takkan terdengar.

"97.6 FM Refrain, Brilian and Inspiratif. Pendengar, saya ucapkan selamat sore untuk yang baru saja bergabung dan menemukan frekuensi Refrain. Bagi yang sedang berkendara, atau yang baru saja pulang kantor, tetap hati-hati dan jaga keselamatan. Pendengar, saat jam kantor selesai jadi waktu-waktu paling padat ya...sambil menunggu kemacetan selesai, tetap di...Refrain. Sampai pukul 17.30, sajian informasi dan musik pilihan akan menemani Anda. Masih bersama saya, Zaki Assegaf."

Rintik hujan menetes. Kedua tangan Abi Assegaf terangkat, wajah tampannya tengadah. Ia khusyuk berdoa. Saat hujan, salah satu waktu mustajabnya doa.

Banyak rekan bisnisnya bertanya-tanya. Mengapa komisaris utama Assegaf Group, yang sudah punya sejumlah lini bisnis, mau-maunya terikat lima jam jadwal siaran? Apa pun jawaban takkan memuaskan mereka. Sederhana saja: kecintaan profesi penyiar. Kesuksesan bisnis tak melunturkan cinta Abi Assegaf di dunia broadcasting.

Waktu merambat pelan. Gelisah, Abi Assegaf mengecek iPhonenya. Kembali terbaca pesan Whatsapp super panjang dari putri tunggalnya, lengkap dengan emoji tangis. Hati Abi Assegaf terasa pedih. Dia tak rela anak lelakinya didiskriminasi. Perkara kecil, namun dapat membesar, merugikan, dan melukai.

Publik tahu. Zaki Assegaf sosok ayah berhati lembut. Family man sejati. Ia sangat menyayangi keluarganya. Cinta Abi Assegaf pada keluarga dan anak-anaknya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Arlita, Asyifa Assegaf, dan Adica Wirawan Assegaf adalah segalanya. Praktis ia akan sedih sekali bila mereka bertiga disakiti. Diskriminatif adalah salah satu bentuk dari melukai.

Sejak dulu, Abi Assegaf sangat menentang diskriminasi. Ia juga mempropagandakan anti diskriminasi di Refrain Radio. Diskriminasi dilawan dengan kasih dan kelembutan, begitu menurut ayah satu putri ini. Seperti virus HIV, diskriminasi sulit sekali dibasmi sampai ke akar-akarnya. Diskriminasi ibarat monster berkepala banyak. Tiap kali satu kepala ditebas, ia akan tumbuh kepala lebih banyak lagi.

Maghrib tiba, dingin dan suram. Abi Assegaf memutar beberapa lagu. Ia bangkit, menghadap kiblat, lalu shalat. Menjaga wudhu sudah menjadi kebiasaan Abi Assegaf. Ia pun tak kenal sarung, kopiah, dan peci. Abi Assegaf lebih memilih memakai jas.

Lama ia berdoa. Meminta keadilan dari Yang Maha Adil untuk putranya yang sedang sakit. Abi Assegaf tak bisa, sungguh tak bisa menyaksikan anaknya didiskriminasi. Andai saja ia ada di kampus saat itu. Anak lelakinya takkan diperlakukan diskriminatif.

"Ya, Allah, mengapa ada yang begitu tega mendiskriminasi orang sakit? Kulakukan segala cara terbaik untuk menjaganya, merawatnya, mengobatinya sampai sembuh. Tapi, mengapa di luar sana ada yang melukai hatinya?"

**    


Demi cinta ku pergi

Tinggalkanmu relakanmu

Untuk cinta tak pernah kusesali saat ini

Kualami kulewati

Suatu saat ku kan kembali

Sungguh sebelum aku mati

Dalam mihrab cinta ku berdoa, semoga...

Suatu hari kau kan mengerti

Siapa yang paling mencintai

Dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya (Afgan-Dalam Mihrab Cinta).

Ini lagu terakhir sebelum durasi siarannya selesai. Sebuah lagu mellow nan sendu.

"Suatu saat ku kan kembali...sungguh sebelum ku mati. Dalam mihrab cinta ku berdoa..." Abi Assegaf bernyanyi lembut mengikuti irama musik.

Tenggorokannya tercekat. Belum lama dia bahagia karena hadir anggota keluarga baru. Belum lama sepinya hari-hari seorang Abi Assegaf kembali berwarna dengan kehadiran pemuda tampan itu sebagai putranya. Kini, bahagia itu ternoda kesedihan.

"Dalam Mihrab Cinta...satu lagu terakhir saya putarkan sebelum..."

Abi Assegaf terbatuk. Tenggorokannya sakit sekali. Bukan karena hawa dingin, bukan pula karena flu. Hanya dorongan emosi yang kuat.

"Maaf...tanpa terasa, Zona 15-19 akan segera berakhir. Sesaat lagi rekan saya, Haris Sasmita Andrian, akan menemani Anda. Saya, Zaki Assegaf, undur diri. Selamat malam."

Sesi clossing, tidak buruk Meski disela gangguan kecil. Terburu-buru Abi Assegaf berjalan keluar studio. Tujuannya hanya satu: secepat mungkin tiba di rumah.

Honda Jazz merah itu ia kemudikan dalam kecepatan tinggi. Jika pergi sendirian, Abi Assegaf tak takut ngebut. Jalanan licin berhujan ia lewati. Jam pulang kantor telah usai. Perjalanan jauh lebih lancar.

Rinai hujan terus menyanyi. Angin tak lagi berbisik-bisik, tetapi berseru kencang. Beberapa pejalan kaki yang melangkah menyusuri trotoar berteriak ketika payungnya diterbangkan angin. Malam kelam tanpa kerlipan bintang. Langit sempurna terbungkus selimut hitam. Siapa lagi yang membentangkannya selain tangan Tuhan?

Harapannya untuk cepat sampai rumah harus sedikit tertunda. Seratus meter dari area tepi pantai, terjadi kemacetan. Ternyata ada kecelakaan. Dua motor berciuman. Korbannya bergelimpangan di jalan, berteriak-teriak karena perihnya luka. Niat Abi Assegaf ingin menolong didahului kerumunan orang yang menyemut. Segera saja kedua motor dipinggirkan ke tepi dan korban-korban dilarikan ke klinik terdekat.

Alhamdulillah mereka sudah ditolong, bisik hati kecilnya. Semoga luka-lukanya tidak parah. Seraya menunggu kemacetan terurai, Abi Assegaf mengecek notifikasi.

"Tuan Muda beberapa kali muntah hari ini. Tuan Muda juga tidak mau makan. Tapi, saat jam minum obat saya selalu mendengar suara biola dari arah balkon. Pelayan lainnya melihat Tuan Muda mimisan tadi siang."

Laporan dari pelayannya sungguh mencemaskan. Pria blasteran Arab-Indonesia itu mengusap wajah letihnya. Ya, Allah, mengapa cobaan seakan datang terus-menerus untuk anggota keluarga barunya?

Jika bisa memilih, Abi Assegaf lebih memilih dirinyalah yang harus dikemoterapi. Lebih baik dia saja yang merasakan sakit, mual, dingin, dan kerontokan rambut itu. Tak tahan menenggelamkan diri dalam kekalutan, digeser-gesernya trackpad. Mencari kontak seseorang.

"Arlita...aku butuh kamu." desah Abi Assegaf.

Arlita menghela nafas. Menatap wajah tampan mantan suaminya di layar.

"Ada apa lagi, Assegaf?"

"Adica sakit..."

"Oh, anak itu lagi. Sakit apa dia?"

Hanya pada Arlita ia curahkan beban hidupnya. Sosok ayah, pemimpin perusahaan, dan penyiar berhati lembut tapi tegar itu rapuh di bawah tatapan teduh Arlita. Wanita mualaf yang teramat ia cintai.

"Masya Allah...diusir dari lift? Padahal dia sakit..." Arlita bergumam lirih.

"Assegaf, lakukan sesuatu. Tegurlah dosen itu. Kau kan donatur terbesar di kampus Syifa."

"Sudah, Arlita. Tapi...kupikir percuma menegur satu orang. Diskriminasi di satu lembaga takkan selesai begitu saja setelah satu pelakunya ditegur. Arlita, diskriminasi itu seperti virus...virus yang merusak cinta kasih."

Terdengar helaan nafas Arlita. Diskriminasi memang menyedihkan. Korban diskriminasi adalah orang-orang teraniaya.

"Hmmm...sulit ya. Fine, satu-satunya jalan yang bisa kaulakukan hanyalah menguatkan anak itu."

Posisi duduk Abi Assegaf menegak. Tangan kirinya mencengkeram setir lebih erat. Ia dengarkan tiap kata. Kerutan di keningnya terurai perlahan.

"...Ayah yang baik harus kuat. Jika anaknya butuh tempat bersandar, saatnya ayah sejati berperan. Kuatkan dia, Assegaf. Kau pasti bisa. Sudah ya, aku shalat Isya dulu."

Klik. Video call berakhir. Abi Assegaf terenyak. Waktu masih Katolik, Arlita rajin mengikuti Misa harian, membaca Alkitab, dan berdoa Rosario. Kini setelah masuk Islam, mantan model dan penyiar itu tak pernah absen shalat lima waktu kecuali saat siklus kewanitaan datang. Ia juga intens bersedekah tiap minggu. Setengah tahun perjalanannya menjadi mualaf, Arlita menunaikan ibadah Haji. Bentuk konsistensi keislaman yang sempurna.

Jerit klakson dan raungan sirine merobek lamunan. Kemacetan sudah berakhir. Abi Assegaf tergeragap, buru-buru melajukan mobil. Tak sempat mobilnya menyentuh pasir pantai. Ia putar balik. Sebentuk gagasan terlintas di pikiran.

**    

Malam membubung. Koridor rumah sakit sesunyi mausoleum. Derap langkah sepatu terdengar begitu keras, seolah volume suara dinaikkan berkali-kali lipat seiring kesunyian yang menggulung rapat. Melewati ruangan demi ruangan, Abi Assegaf tiba di ruang VIP. Kepalan tangannya terangkat siap mengetuk pintu, akan tetapi...

"Mau apa Pak Assegaf ke sini?"

Sebuah suara dingin menahannya. Refleks Abi Assegaf memutar tubuh.

"Hanya ingin menemui anakmu, Effendi. Sudahlah, jangan terlalu formal begitu."

Tuan Effendi mengangkat dagu dengan angkuh. "Calvin sudah tidur. Jangan ganggu dia."

"Aku tidak terganggu, Pa."

Pintu mengayun terbuka. Calvin berdiri tegap di ambangnya. Wajahnya pucat, namun tersimpan gurat antusiasme ingin menemui sang tamu.

"My Dear Calvin? Kembalilah tidur, Sayang. Biar cepat sehat."

Calvin menggeleng. Pelan ia hampiri Abi Assegaf dengan satu tangan menenteng tiang infus. Dipeluknya pria paruh baya berjas dark blue itu. Lama bersahabat dengan orang Turki semacam Revan, Calvin sudah biasa memberi pelukan sesama pria khas Timur Tengah.

"Assalamualaikum, Abi. Abi kemana saja? Lama tidak ke sini..." sapa Calvin hangat.

"Waalaikumsalam, Calvin. Ah, harusnya saya duluan yang kasih salam. Belakangan ini saya sibuk. Saya ingin bicara denganmu...tidak keberatan?"

"Tidaklah, Abi. Ada apa memangnya?"

Keakraban Calvin dan Abi Assegaf sukses menerbitkan raut wajah kusut Tuan Effendi. Namun ia tak bisa apa-apa. Ia perhatikan saja anak tunggalnya berbincang dengan Abi Assegaf.

Di depan malaikat tampan bermata sipit, Abi Assegaf mencurahkan beban kesedihan. Semuanya, semuanya ia tumpahkan. Ayah berhati lembut itu menangis. Air mata bergulir ke pipi. Calvin trenyuh. Saat itu, dia melihat betapa besar kesedihan seorang ayah yang mengetahui putranya didiskriminasi. Ayah mana yang tak ikut terluka ketika anaknya terluka? Luka anak adalah luka orang tua. Kesedihan anak adalah kesedihan orang tua. Bahagia sang anak, bahagia orang tua pula.

"Salahkah jika saya punya anak istimewa? Saya pikir, memiliki anak istimewa bukan kesalahan, justru anugerah. Anak istimewa adalah titipan berharga...Calvin, saya takkan pernah katakan warga difabel dan berpenyakit serius sebagai aib tak berguna. Tapi, mereka istimewa di mata saya."

Ah, andai saja Abi Assegaf dan Tuan Effendi tahu. Calvin pun mengalami hal yang hampir sama di hari yang sama pula. Tapi ia lebih bijak dengan merahasiakannya. Revan dan Silvi pun sudah diperingatkan sebagai penjaga rahasia. Seperti Peter Pettigrew yang didaulat jadi penjaga rahasia untuk Keluarga Potter. Eits, jangan samakan Revan dan Silvi seperti Pettigrew.

"...Kata Arlita, saya harus menguatkan dia. Apa yang harus saya lakukan, Calvin?"

Nah, ini dia. Ternyata curhat bukan sekedar curhat. Ada permintaan solusi. Calvin sangat hati-hati saat ada yang meminta solusi padanya. Dia lebih banyak mendengarkan, hanya menyarankan bila diminta.

"Jangan pernah tinggalkan dia lagi. Tetaplah di sampingnya. Atur pikiran Anda dan dia. Buang ingatan tentang itu. Berdamai dan mengatur pikiran jauh lebih baik."

Abi Assegaf mengangguk. Ujung hidungnya memerah. Pelan disekanya mata.

"Orang yang kuat adalah orang yang mampu berdamai dan memaafkan. Orang yang kuat akan mampu membersihkan pikiran dan melapangkan hati." Calvin berkata menguatkan.

Ya, sekarang yang terpenting adalah belajar melupakan. Saatnya mengatur pikiran dan melapangkan hati. Melupakan ingatan buruk, dan menguatkan untuk berdamai. Jangan pernah ingat lagi.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun