Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Ayah Berhati Lembut itu Menangis

26 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 26 Oktober 2018   06:26 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya (Afgan-Dalam Mihrab Cinta).

Ini lagu terakhir sebelum durasi siarannya selesai. Sebuah lagu mellow nan sendu.

"Suatu saat ku kan kembali...sungguh sebelum ku mati. Dalam mihrab cinta ku berdoa..." Abi Assegaf bernyanyi lembut mengikuti irama musik.

Tenggorokannya tercekat. Belum lama dia bahagia karena hadir anggota keluarga baru. Belum lama sepinya hari-hari seorang Abi Assegaf kembali berwarna dengan kehadiran pemuda tampan itu sebagai putranya. Kini, bahagia itu ternoda kesedihan.

"Dalam Mihrab Cinta...satu lagu terakhir saya putarkan sebelum..."

Abi Assegaf terbatuk. Tenggorokannya sakit sekali. Bukan karena hawa dingin, bukan pula karena flu. Hanya dorongan emosi yang kuat.

"Maaf...tanpa terasa, Zona 15-19 akan segera berakhir. Sesaat lagi rekan saya, Haris Sasmita Andrian, akan menemani Anda. Saya, Zaki Assegaf, undur diri. Selamat malam."

Sesi clossing, tidak buruk Meski disela gangguan kecil. Terburu-buru Abi Assegaf berjalan keluar studio. Tujuannya hanya satu: secepat mungkin tiba di rumah.

Honda Jazz merah itu ia kemudikan dalam kecepatan tinggi. Jika pergi sendirian, Abi Assegaf tak takut ngebut. Jalanan licin berhujan ia lewati. Jam pulang kantor telah usai. Perjalanan jauh lebih lancar.

Rinai hujan terus menyanyi. Angin tak lagi berbisik-bisik, tetapi berseru kencang. Beberapa pejalan kaki yang melangkah menyusuri trotoar berteriak ketika payungnya diterbangkan angin. Malam kelam tanpa kerlipan bintang. Langit sempurna terbungkus selimut hitam. Siapa lagi yang membentangkannya selain tangan Tuhan?

Harapannya untuk cepat sampai rumah harus sedikit tertunda. Seratus meter dari area tepi pantai, terjadi kemacetan. Ternyata ada kecelakaan. Dua motor berciuman. Korbannya bergelimpangan di jalan, berteriak-teriak karena perihnya luka. Niat Abi Assegaf ingin menolong didahului kerumunan orang yang menyemut. Segera saja kedua motor dipinggirkan ke tepi dan korban-korban dilarikan ke klinik terdekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun