** Â Â
"Effendi, bisa bicara sebentar?"
Dokter Tian menjajari langkahnya. Tuan Effendi berpaling, tersenyum, lalu mengangguk. Wajah dokter Hematologi itu nampak serius sekali. Pasti ada hal penting. Mungkin ia ingin curhat tentang istrinya yang belum melepas sikap dingin sejak Dokter Tian gagal menyelamatkan nyawa anak semata wayang mereka yang terkena kanker darah. Atau mungkin saja ada hal lain.
"Mau bicara apa, Abi?" tanya Adica.
"Setelah keluar dari rumah sakit, tinggallah di rumah Abi."
Syifa, yang jadi pendengar setia, tak bisa menahan senyum. Membayangkan betapa senangnya bila pujaan hatinya tinggal di rumah yang aman.
"Tapi..."
"Abi tidak menerima penolakan. Mana mungkin Abi biarkan kamu tinggal sendirian di rumah kecil begitu? Abi akan lebih tenang kalau kamu tinggal bersama Abi."
"Aku juga akan lebih tenang, Adica. Setidaknya, banyak yang akan menjagamu. Ada Abi, ada enam pelayan di rumah, dan ada aku. Kamu mau ya, Adica? Ya ya yaaaa?" bujuk Syifa.
"Tidak." bantah Tuan Effendi cepat.
Buru-buru Dokter Tian berhenti menyesap cappucinonya. Ia kaget mendengar reaksi sahabat lamanya yang terlalu cepat.