Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Sujud Cinta Para Malaikat

22 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 22 Oktober 2018   06:23 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tidurnya, tetiba Calvin terbatuk. Darah mengalir, membasahi bibirnya. Saat terbangun, tak meremas tangan halus yang menggenggam lembut jemarinya. Pemilik tangan putih nan mulus itu tersentak bangun.

"Masya Allah...kenapa, Calvin?" bisik Silvi lembut.

Jangan tanya kenapa Adica terbangun di sepertiga malam. Itu sudah menjadi kebiasaannya, sehat ataupun sakit. Ketika membuka mata, hal pertama yang dilihatnya adalah Abi Assegaf yang tertidur kelelahan dengan kepala tersandar di pinggir ranjang. Dengan tulus, pria blasteran Arab itu menjaganya semalaman. Sampai-sampai ia tak peduli dengan waktu tidurnya sendiri.

Pandangannya tertumbuk ke arah benda persegi panjang terbungkus kertas coklat. Selembar catatan kecil tertempel di bungkusnya: For My Lovely Son. Ternyata isinya kamera mirrorless. Abi Assegaf menepati janji. Dengan sedih bercampur haru, Adica menimang kamera baru itu. Lekat menatapi wajah ayah keduanya.

"Abi, maafkan aku..."

"Jangan minta maaf. Muntahkan, Calvin."

Calvin muntah darah. Beberapa saat lamanya pria tampan itu memuntahkan darah segar. Memenuhi benda perak di tangan Silvi dengan cairan merah.

Mata Silvi mengerjap. Bulu matanya yang lentik bergerak. Awan-awan menggumpal di bola mata dan wajah cantiknya.

Wajah cantik itu, Adica terpana. Baru saja tatapannya berpindah ke tengah ruangan. Dilihatnya seraut wajah cantik berbalut hijab putih tertunduk ke lantai dalam posisi sujud. Lama bersujud, pemilik wajah cantik bangkit lagi. Kedua tangannya terlipat, matanya terpejam seraya memfokuskan pikiran pada sesuatu. Terasa sejuk hati Adica melihat gadis cantik itu Tahajud. Tak seperti kebanyakan wanita Muslim Indonesia yang mengenakan mukena saat shalat, Syifa lebih memilih shalat dengan abaya Turki. Shalat? Ya, memang sudah saatnya.

"Silvi, aku ingin Tahajud." pinta Calvin.

Silvi mengangguk. Pelan membantu Calvin turun dari tempat tidur. Memapahnya ke kamar mandi. Membantunya berwudhu, lalu memakaikannya jas. Shalat dengan gaya Turki dan Timur Tengah lebih nyaman untuk Calvin. Sejak kecil, ia tak kenal namanya sarung, kopiah, dan baju koko. Calvin terbiasa hanya shalat dengan memakai jas.

"Kau jadi Imamku malam ini, Calvin." kata Silvi seraya menyampirkan hijab untuk menutupi rambut panjangnya.

Silvi tak perlu berganti baju untuk Tahajud. Maxi dressnya sudah cukup panjang. Tinggal ditutup hijab Turki saja. Gadis Manado Borgo bermata biru itu shalat diimami Calvin. Malaikat tampan bermata sipit shalat Tahajud ditemani putri cantik.

Baru saja ia akan beranjak bangkit dari ranjang, tulang-tulangnya terasa sakit. Sakit sekali. Jangan katakan ini efek samping kemoterapi. Adica kesulitan berpindah posisi. Dengan sedih, ia lakukan ibadah sunnah itu sambil berbaring. Ia merasa semuanya tak sempurna. Berulang kali kata maaf ia sampaikan pada Tuhannya. Tak tahukah dirinya bila Tuhan Maha Baik?

"Aku tahu, ya Allah. Aku tahu Kau punya skenario hidup terindah untuk setiap makhluk ciptaanMu. Maka kumohon padaMu, pertemukanlah aku dengan adikku sebelum Izrail menjemputku..." doa Calvin dalam sujudnya.

**    


Dalam sujud ku melihat semua

Cerminan diri yang lawas

Menangisku tersirat sebuah tanya

Masihkah ada kesempatan untuk diriku

Allah

Menghapus segala salahku

Selama nafas masih ada

Ku ingin untuk kembaliDi jalan cinta-Mu Ya Allah

Ampuni aku

Sayangi aku (AB Three-Sujudku).

Begitu panjang doa-doa Silvi. Syifa menangis dalam sujudnya. Adica terbayang semua kesalahannya di masa lalu, kepingan-kepingan kenangan manisnya bersama Michael Wirawan. Malaikat tampan bermata sipit memohon, terus memohon.

Syifa mendoakan kebahagiaan Abi-Umminya dan kesembuhan Adica. Tak pernah Silvi mendoakan diri sendiri. Hanya ada nama Revan, kedua orang tuanya-Johanis Tendean dan Ellen Mamahit-, juga nama Calvin di setiap doanya. Calvin menyebut keinginan bertemu adik kandungnya. Hanya ada tiga nama yang terselip dalam doa-doa Adica: Michael Wirawan, Abi Assegaf, dan Syifa.

Isak tangis memenuhi dua pintu ruang VIP. Walau pelan, walau tertahan, Allah Maha Mendengar. Orang-orang yang menangis di kamar-kamar VIP adalah sosok demi sosok rupawan berhati malaikat. Walau mereka terlahir berdarah campuran, namun kasih dan iman mereka sungguh murni. Meski sering kali mereka didiskriminasi karena disangka pemeluk agama lain, mereka tetap istiqamah mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Kendati mereka berempat menjalani hidup di atas stereotip dan prasangka, hati mereka tetap lembut mengasihi sebagai Muslim sejati.

Suara-suara di sekelilingnya membangunkan Abi Assegaf. Pria tampan berlesung pipi itu menggeliat, lalu terenyak. Ia tatapi dua sosok rupawan yang tengah shalat di kanan-kiri.

"Astaghfirullah..." desisnya.

Mereka yang masih muda saja teguh ibadahnya, bagaimana yang sudah tua? Terburu-buru Abi Assegaf mengambil air wudhu. Masih ada spasi cukup luas di ruang rawat ini. Abi Assegaf pun mendirikan Tahajud. Mengherankan, tiga orang bertahajud munfarid di ruangan yang sama.

**    

"Effendi, bisa bicara sebentar?"

Dokter Tian menjajari langkahnya. Tuan Effendi berpaling, tersenyum, lalu mengangguk. Wajah dokter Hematologi itu nampak serius sekali. Pasti ada hal penting. Mungkin ia ingin curhat tentang istrinya yang belum melepas sikap dingin sejak Dokter Tian gagal menyelamatkan nyawa anak semata wayang mereka yang terkena kanker darah. Atau mungkin saja ada hal lain.

"Mau bicara apa, Abi?" tanya Adica.

"Setelah keluar dari rumah sakit, tinggallah di rumah Abi."

Syifa, yang jadi pendengar setia, tak bisa menahan senyum. Membayangkan betapa senangnya bila pujaan hatinya tinggal di rumah yang aman.

"Tapi..."

"Abi tidak menerima penolakan. Mana mungkin Abi biarkan kamu tinggal sendirian di rumah kecil begitu? Abi akan lebih tenang kalau kamu tinggal bersama Abi."

"Aku juga akan lebih tenang, Adica. Setidaknya, banyak yang akan menjagamu. Ada Abi, ada enam pelayan di rumah, dan ada aku. Kamu mau ya, Adica? Ya ya yaaaa?" bujuk Syifa.

"Tidak." bantah Tuan Effendi cepat.

Buru-buru Dokter Tian berhenti menyesap cappucinonya. Ia kaget mendengar reaksi sahabat lamanya yang terlalu cepat.

"Sungguh, Effendi. Dia mirip sekali dengan Calvin. Wajahnya, ekspresinya ketika menerima hasil diagnosis, sorot ketakutan di matanya saat kujelaskan prosedur kemoterapi...demi Allah, dia mengingatkanku pada Calvin."

Wajah Tuan Effendi berubah kusut. Diaduk-aduknya milk tea dengan gamang. Terbayang seraut wajah yang sangat tidak dia sukai belakangan ini. Wajah yang sering kali ia lihat keluar-masuk koridor ruang VIP.

"Jangan sentimen terus sama Pak Zaki...ups, maaf. Pak Assegaf maksudku. Kau kan bisa tanya beliau baik-baik." Dokter Tian pelan menyarankan.

"Tapi jangan berharap terlalu tinggi."

Berurusan dengan Zaki Assegaf? Seperti tak ada pilihan lain saja. Tuan Effendi tertawa hambar. Meneguk milk teanya banyak-banyak, lalu tersedak. Tepuka pelan Dokter Tian di punggungnya sedikit menyadarkan.

"Kenapa sih kamu nggak suka sama Pak Assegaf?"

"Entahlah, Tian. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu padanya. Padahal dia baik...ah, aku tidak tahu."

Sang dokter penyuka puisi tertawa kecil. Mata hatinya menelusuri hal lain. Mungkinkah naluri kebapakan?

"Effendi, aku pernah kehilangan anak. Rasanya sakit sekali. Al meninggal karena kanker, dan aku dihantui rasa bersalah sepanjang hidup karena tak bisa menolongnya. Aku janji akan membantumu mendapatkan anak keduamu lagi." kata Dokter Tian lembut.

"Oh, thank you Tian. Calvinku pasti akan senang."

"Hei, Calvinku juga. Sudah kuanggap Calvin seperti anakku sendiri. Jadi bagaimana, Effendi? Kau mau kubantu?"

"Aku mau, Abi." jawab Adica akhirnya.

Syifa bersorak. Polos dan kekanak-kanakan, namun Adica justru menyukainya. Wajah Abi Assegaf berangsur lega. Satu masalah selesai. Niat tulus menghasilkan penerimaan.

**    

Hari ini, kondisinya tak sebaik hari kemarin. Calvin flu berat. Terdapat radang yang cukup parah di tenggorokan. Hal tak diinginkan pasca kemo kedua.

Revan dan Silvi stay di rumah sakit. Mereka merawat Calvin dengan sabar. Satu jam sekali, Dokter Tian bolak-balik ke ruang VIP. Tuan Effendi tak berkonsentrasi saat membahas rencana ekspansi perusahaan karena terus mencemaskan kondisi anak semata wayangnya. Menjelang siang, Nyonya Rose menunda acara dengan teman-teman sosialitanya dan lebih memilih datang ke rumah sakit.

Tenggorokannya serasa ditusuk pisau. Sakit, sakit sekali. Calvin sedih karena ia tak bisa bernyanyi. Ia hanya mampu bermain piano.

Dalam kondisi sakit, malaikat tampan bermata sipit itu tetap menulis dan berbagi. Ia update laman blognya dengan artikel-artikel brilian dan inspiratif. Melawan rasa sakitnya, Calvin naik kursi roda mengunjungi pasien-pasien miskin dan termarginalkan di bangsal kelas tiga. Calvin tak pernah lelah mendengarkan curahan hati mereka. Tangannya selalu terulur untuk mengusap kepala anak-anak yang sakit dan terluka. Limpahan kekayaan miliknya ia gunakan untuk menolong mereka yang berkutat dengan kesulitan membayar biaya rumah sakit.

Meski penyakit menggerogoti, meski banyak hal terampas darinya akibat kanker, hati Calvin tetaplah lembut. Tak pernah ada setitik pun dendam dan niat memprotes Tuhan. Ia percaya, kanker adalah anugerah. Sama seperti anugerah ketampanan wajah, kekayaan, sahabat yang baik, gadis cantik, orang tua penyayang, kecerdasan otak, karier cemerlang, bakat menulis dan bermusik.

"Seharusnya kau jangan memaksakan diri, Sayang." sesal Nyonya Rose.

Kembali dari bangsal kelas tiga, Calvin terbatuk. Dahak dan darah dimuntahkan. Ibu cantik yang telah melahirkan anak setampan Calvin itu salah duga. Dikiranya sang anak memaksakan diri. Tidak, sama sekali tidak. Justru Calvin sangat senang bisa mengasihi dalam sakit.

Bukan Nyonya Rose yang paling memahami perasaan Calvin saat ini, tetapi Revan dan Silvi. Sepasang kakak-beradik bermarga Tendean itu mengulurkan tangan mereka tanpa kata. Menyeka sisa muntahan dengan lembut. Menatap dalam-dalam mata Calvin, mengisyaratkan kalau mereka mengerti. Bahkan mereka mengagumi kebaikan Calvin.

"Sekarang, minum obatnya ya? Pelan-pelan..." kata Revan lembut.

Pria tampan berambut pirang yang berulang kali mengalami kegagalan asmara itu membantu Calvin minum obat. Jika ada tes untuk keluarga pasien, orang tua warga difabel, dan pendamping surviver kanker, Revan pastilah peraih nilai tertinggi. Sabarnya luar biasa. Tak pernah mengeluh sedikit pun. Kesabaran dan kasih terpancar tulus di mata birunya.

Baru saja Calvin meminum obatnya, pintu ruang VIP berdebam terbuka. Tuan Effendi berlari masuk. Kancing jasnya berlepasan. Rambutnya berantakan. Dengan nafas terengah, ia mengerem larinya di depan ranjang Calvin dan berujar.

"My Dear Calvin, sudah ada titik terang siapa adikmu."

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun