Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Tulang Rusuk Malaikat] Kuatkanlah Hati Cinta

18 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 18 Oktober 2018   07:47 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para suster membicarakannya. Dokter-dokter bergumam kagum. Bukan gosip, bukan hoax. Kisah nyata pasien rumah sakit yang begitu tegar dikelilingi mayat-mayat dalam satu malam pun menyebar. Menuai ketertarikan seisi rumah sakit.

Berita yang bukan hoax itu melayang juga ke kamar VIP. Kisah ketegaran pasien tampan orientalis sukses mengalahkan pamor hoax penganiayaan yang dicetuskan ratu hoax nasional di rumah sakit itu. Pamor si nenek sihir berwajah penyok yang mengaku-ngaku korban penganiayaan terkalahkan pesona pasien baru dan tampan.

"Aku seperti mengenali pasien tampan yang mereka maksud..." ucap Calvin perlahan.

Revan menepuk dahinya. "Jangan-jangan cowok orientalis yang bikin Syifa galau dahsyat."

Nyaris saja Silvi tersedak minumannya. Ia teringat sepotong nama.

"Adica..." desahnya.

"Aku harus beri tahu Syifa."

Cepat diraihnya iPhone. Jemari lentiknya naik-turun mencari kontak Whatsapp. Calvin menatapnya ragu. Seakan mengisyaratkan Silvi untuk tidak terburu-buru.

"Sure..." kata Silvi mantap.

"Itu pasti Adica. Kau tahu? Syifa dan Abi Assegaf hampir hopeless mencarinya."

Tak bisa dicegah, Silvi nekat mengabari Syifa. Calvin dan Revan bertukar pandang. Ingin rasanya memastikan, tapi Calvin belum dibolehkan turun dari tempat tidur sejak kemarin. Terkadang sulit juga memberikan bentuk kepedulian di saat sakit.

**    

Dinginnya subuh menyapa kota. Bagi mereka yang teguh imannya, tak masalah bangun pagi-pagi untuk menggapai kemuliaan langit. Di saat kebanyakan orang masih terlelap di balik selimut hangat, tipe orang dengan keteguhan iman di atas rata-rata akan melangkah untuk beribadah.

Eits, jangan salah. Ibadah bukan di masjid saja. Ke studio radio untuk menyampaikan program keagamaan pun bernilai ibadah. Abi Assegaf ini contohnya. Selesai shalat Subuh, ia meluncur ke studio Refrain. Baru tiga jam lalu ia mendarat di kota cantik yang dikelilingi bukit di bagian barat dan pantai di bagian timur itu. Belum lama beristirahat, Abi Assegaf langsung berhadapan dengan padatnya aktivitas.

"Assalamualaikum warrahmatullahi wa barakatuh. Selamat pagi pendengar, kembali di 97.6 FM Refrain, Brilian and inspiratif. Seperti biasa, kami hadirkan program Kuliah Subuh hingga menjelang pukul enam. Kuliah Subuh pagi ini, edisi 19 Oktober, akan membahas tema Nifak Amali Tetap Mukmin dengan narasumber Prof..."

Opening sesion yang lancar. Kecintaannya pada siaran radio membuat Abi Assegaf terus bersiaran meski sudah sukses dan punya stasiun radio sendiri. Penyiar adalah profesi yang paling dicintainya, melebihi profesi utamanya sebagai pebisnis.

Satu jam Abi Assegaf memandu program Kuliah Subuh. Pukul enam pagi, siarannya usai. Saat itulah ia aktifkan kembali ponsel pintar berlogo apel tergigitnya. Puluhan notifikasi berebutan masuk.

Chat Whatsapp dari Syifalah yang paling banyak menarik perhatian. Syifa mengiriminya pesan panjang, lengkap dengan emoji tangis penuh sekali. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Abi Assegaf berlari keluar studio. Mengabaikan seruan tanya para kru lainnya. Saatnya ke rumah sakit.

**      

Perjalanan sunyi yang kautempuh sendiri

Kuatkanlah hati cinta

Ingatkah engkau kepada

Embun pagi bersahaja

Yang menemanimu sebelum cahaya

Ingatkah engkau kepada

Angin yang berhembus mesra

Yang kan membelaimu cinta

Kekuatan hati yang berpegang janji

Genggamlah tanganku cinta

Ku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri

Temani hatimu cinta (Letto-Sebelum Cahaya).

Pria berlesung pipi dan berjas hitam itu berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit. Debur kekhawatiran menghantam dadanya. Bagaimana kondisi pemuda itu? Mengapa ia bisa sebegitu tegar terbaring dikelilingi mayat-mayat dalam semalam?

Tiba di depan pintu sal, Abi Assegaf nyaris menabrak sebentuk kursi roda. Pemuda tampan berkacamata duduk di kursi roda itu. Pria baya seusianya berdiri di belakangnya.

"Maaf..." kata Abi Assegaf, buru-buru menahan langkahnya.

"Tidak apa-apa. Anda siapa?" tanya pria baya berpenampilan rapi itu, tak lain Tuan Effendi.

"Saya Zaki Assegaf, keluarga pasien di ruangan itu."

Alis Tuan Effendi bertaut. Calvin mengerutkan keningnya.

"Keluarga? Bukankah sejak kemarin Adica datang, dirawat, dan mengurus semuanya sendirian?"

Sesaat Abi Assegaf nampak kikuk. Rasa posesif dan kasih sayang berlebih mendorongnya.

"Saya ayahnya."

Di luar dugaan, Abi Assegaf berani berbohong. Tanpa sengaja pria Arab-Indonesia itu menyentuh hidungnya saat berkata begitu. Salah satu gesture orang yang sedang berbohong adalah gugup dan ragu, hingga tak sadar menyentuh hidungnya dan menghindari pandang saat bicara.

Sayangnya, Calvin dan Tuan Effendi terlalu baik. Terlalu baik bukan berarti bodoh. Mereka berdua antara percaya dan tidak. Agak ganjil bila pria tinggi berhidung mancung di hadapan mereka ini mengaku-ngaku ayah Adica. Pertama, ayah mana yang membiarkan anaknya terlantar di rumah sakit dikelilingi mayat? Kedua, tipikal wajah Adica dan Abi Assegaf tidak mirip. Ketiga, Syifa bahkan jatuh cinta dengan Adica. Bagaimana mungkin ia berani jatuh cinta jika memang mereka saudara satu ayah? Incest bukanlah pilihan baik.

Meski setengah tak percaya, mereka biarkan saja Abi Assegaf masuk. Mengurungkan niat mereka sendiri untuk memberikan sebentuk perhatian. Intuisi kewaspadaan mereka tetap aktif.

**    

"Nak, cinta...anakku, syukurlah kamu baik-baik saja."

Abi Assegaf menghambur ke tepi ranjang. Memeluk Adica, pelukan khas pria Timur Tengah. Binar kelegaan terpancar di matanya.

"Abi..." Hanya itu yang bisa ia katakan. Pelukan dan kehadiran sosok pengganti Michael Wirawan itu sudah lebih dari cukup.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau mau ambil hasil lab? Kenapa kamu tidak cerita kalau kamu harus rawat inap? Abi mencemaskanmu..." Nada suara Abi Assegaf setengah memprotes.

"Maaf, Abi. Aku hanya tidak ingin membuat Abi cemas."

Tangan kokoh Abi Assegaf terulur. Lembut membelai rambut Adica. Keinginan kuat kembali mendesak hati, keinginan untuk mengadopsi pemuda rupawan ini menjadi anaknya.

"Ruangan ini tak pantas untukmu, Nak. Hari ini juga Abi akan pindahkan kamu ke ruang VIP, atau paviliun kalau perlu. Semuanya sudah diatur. Abi pemilik setengah saham rumah sakit ini."

Kerak-kerak es di dinding hatinya luluh. Ya, Allah, apakah Michael Wirawan hidup lagi dalam diri Abi Assegaf?

Dua pasang mata lekat mengawasi dari jendela kaca. Calvin dan Tuan Effendi memperhatikan dari jauh. Entah mengapa, hati Tuan Effendi terasa sakit melihat Abi Assegaf memeluk Adica. Sungguh, sakit sekali. Calvin hanya bisa menghela nafas berat. Sama seperti Papanya, ada yang sakit di sini. Sakit yang tak terkatakan.

**      

Janji Abi Assegaf bukanlah hoax. Dua jam kemudian, Adica tak perlu lagi tinggal di bangsal horor itu. Sebuah ruang rawat mewah berfasilitas lengkap telah menunggu. Bukan kebetulan bila ruang rawat Adica bersebelahan dengan Calvin.

Abi Assegaf berbaik hati menceritakan caranya berhasil menemukan keberadaan Adica. Semua ini tak lepas dari peran para suster, dokter, Calvin, Silvi, Tuan Effendi, dan Syifa. Alhasil, Adica berkunjung sebentar ke ruang sebelah. Sekedar berterima kasih karena perhatian banyak orang.

"Tidak juga...apa yang perlu diterimakasihkan?" Calvin menampik halus, tersenyum ramah.

"Aku, Papa, dan Silvi hanya memperhatikan dari jauh. Yah...setidaknya memastikan kau tidak sendirian."

Kekakuan mencair. Saling mengingat wajah di pesta ulang tahun Syifa membuat mereka perlahan tak canggung lagi.

Bicara tentang Syifa, dimanakah gadis itu? Rupanya Syifa tengah disibukkan dengan urusan keluarga Umminya. Memiliki dua orang tua yang telah berpisah dan tinggal berjauhan mengharuskan Syifa bolak-balik dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak berjauhan. Begitu tahu dimana Adica berada, ia dihinggapi sesal tingkat akut. Pasalnya, saat ini dia masih berkutat dengan keluarga lain. Hasrat untuk menemui special someone terpaksa ditahan.

Lain Syifa, lain lagi Abi Assegaf. Ia menikmati perannya sebagai full time father. Semua urusan pekerjaan dia serahkan pada bawahan-bawahannya. Seluruh waktu dihabiskan Abi Assegaf di rumah sakit.

Kehadiran Abi Assegaf yang begitu tiba-tiba sempat mengherankan Dokter Tian. Terlebih, Abi Assegaf tanpa ragu mengklaim Adica sebagai anaknya. Cinta, terkadang bisa membuat seseorang dengan mudah mengklaim sesuatu menjadi miliknya.

Dalam hidup, kita tak bisa memaksakan semua orang menyukai diri kita. Begitu juga Abi Assegaf. Sebaik apa pun imagenya, sebesar apa pun sifat penyayangnya, tetap saja ada yang tidak suka. Bukan, ia bukan dibenci oleh saingan bisnisnya. Ia justru tidak disukai oleh sesama ayah penyayang.

Tak bisa mengingkari perasaannya sendiri, Tuan Effendi tidak menyukai Abi Assegaf. Sebersit rasa iri bercampur cemburu membakar sudut hati. Rasa yang datang tanpa permisi sejak melihat kedekatan Abi Assegaf dan Adica.

Calvin bukannya tutup mata. Dia tahu pasti perasaan Papanya. Ia pun menyimpan tanya. Mengapa Abi Assegaf sedekat itu dengan Adica? Bahkan sampai mengklaim Adica sebagai anak. Cinta, menebarkan rasa posesif bagi para pemiliknya.

**    

Dokter Tian dan Abi Assegaf berhadapan. Visite terakhir hari itu. Namun, Dokter Tian menyempatkan diri bicara dengan keluarga pasien di luar jam kerjanya.

"Pak Zaki...?" Ia memulai, tapi cepat dipotong Abi Assegaf.

"Panggil saya Assegaf. Saya tak suka dipanggil dengan nama depan."

"Ok, baik. Pak Assegaf, Anda tahu tindakan medis apa yang harus dijalani aka Anda?"

Abi Assegaf mengangguk. "Kemoterapi, kan? Saya sudah tahu semuanya."

"Bagus. Pak Assegaf, Anda yakin mau merawat dan mendampingi putra Anda?"

"Seratus persen yakin. Dokter meragukan saya?"

"Bukan...bukan begitu. Hanya saja, merawat pasien kemoterapi perlu perhatian khusus. Tingkat keparahan efek samping tergantung mode pengobatan dan kondisi tubuh pasien. Anda harus siap menghadapi jika anak Anda mengalami efek samping yang parah. Separuh pasien kemoterapi mengalami mual dan muntah. Efek lainnya adalah Anorexia atau hilangnya selera makan. Lalu..."

Penjelasan mengalir lancar. Abi Assegaf mendengarkan dengan penuh perhatian. Tak satu pun detail terlewatkan.

"Anda juga harus hati-hati 48 jam pertama setelah kemoterapi."

"Hati-hati kenapa, Dokter?"

"Kontak dengan obat kemoterapi bisa membuat pasien berisiko terkena kanker. Sekalipun ini kemoterapi untuk pasien non-kanker. Pak Assegaf, obat kemoterapi bisa keluar lagi melalui muntahan, urine, dan feses. Jadi, berhati-hatilah."

Bukan Dokter Tian namanya kalau tak bisa memberi penjelasan dengan sabar. Abi Assegaf paham.

Dengan hati diberati kegalauan, Abi Assegaf kembali ke ruang VIP. Ini pengalaman pertamanya mendampingi dan merawat pasien kemoterapi. Haruskah ia sharing dengan keluarga pasien lainnya?

"Anakku...kau harus kemoterapi. Kuatkan hatimu, cinta. Abi tak akan pergi meninggalkanmu sendiri...Abi di sini...menemanimu."

Jangan heran bila pria Timur Tengah tak canggung memberi panggilan sayang, bahkan dengan sesama pria. Begitulah kultur mereka.

**    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun