"Nak, cinta...anakku, syukurlah kamu baik-baik saja."
Abi Assegaf menghambur ke tepi ranjang. Memeluk Adica, pelukan khas pria Timur Tengah. Binar kelegaan terpancar di matanya.
"Abi..." Hanya itu yang bisa ia katakan. Pelukan dan kehadiran sosok pengganti Michael Wirawan itu sudah lebih dari cukup.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau mau ambil hasil lab? Kenapa kamu tidak cerita kalau kamu harus rawat inap? Abi mencemaskanmu..." Nada suara Abi Assegaf setengah memprotes.
"Maaf, Abi. Aku hanya tidak ingin membuat Abi cemas."
Tangan kokoh Abi Assegaf terulur. Lembut membelai rambut Adica. Keinginan kuat kembali mendesak hati, keinginan untuk mengadopsi pemuda rupawan ini menjadi anaknya.
"Ruangan ini tak pantas untukmu, Nak. Hari ini juga Abi akan pindahkan kamu ke ruang VIP, atau paviliun kalau perlu. Semuanya sudah diatur. Abi pemilik setengah saham rumah sakit ini."
Kerak-kerak es di dinding hatinya luluh. Ya, Allah, apakah Michael Wirawan hidup lagi dalam diri Abi Assegaf?
Dua pasang mata lekat mengawasi dari jendela kaca. Calvin dan Tuan Effendi memperhatikan dari jauh. Entah mengapa, hati Tuan Effendi terasa sakit melihat Abi Assegaf memeluk Adica. Sungguh, sakit sekali. Calvin hanya bisa menghela nafas berat. Sama seperti Papanya, ada yang sakit di sini. Sakit yang tak terkatakan.
** Â Â Â
Janji Abi Assegaf bukanlah hoax. Dua jam kemudian, Adica tak perlu lagi tinggal di bangsal horor itu. Sebuah ruang rawat mewah berfasilitas lengkap telah menunggu. Bukan kebetulan bila ruang rawat Adica bersebelahan dengan Calvin.