Calvin resah, sungguh resah. Pagi ini ia harus menjalani kemoterapi kedua. Sisa rasa optimisme pasca kemoterapi pertama tak cukup mengobati. Tuan Effendi, Nyonya Rose, Revan, dan Silvi selalu menemani.
"My Dear Calvin, apa kamu takut?" tanya Tuan Effendi.
Tidak, ia tidak boleh takut. Adica melangkah mantap memasuki ruang tunggu. Berbaur dengan pasien lainnya. Ia layangkan pandang ke sekeliling ruang putih penuh barisan kursi besi itu. Tak sulit membedakan mana pasien dan pengantarnya. Wajah-wajah pasien menampakkan ekspresi kesakitan. Para pengantarnya memiliki raut wajah beragam: sebagian sedih, sebagian termenung, sebagian datar, sebagian lagi sangat sabar. Aroma darah, dahak, dan peluh menunggang udara. Adica merinding seketika. Ia tak tahan, tak pernah ia ke sini sebelumnya.
"Aku akan tahan rasa sakit sebisaku..." lirih Calvin.
Revan dan Silvi terpaku. Mereka menyiapkan hati melihat hal terburuk. Genggaman tangan Tuan Effendi tak lepas juga. Nyonya Rose membungkuk, mengecup kening putra tunggalnya.
"Calvin, apa yang bisa membuatmu lebih rileks sebelum kemoterapi?"
Bernyanyi dan bermain musik. Ya, ia harus melakukan dua hal itu di tengah antrean yang mengular dan ketegangan menunggu dokter. Perlahan Adica bangkit. Dilangkahkannya kaki ke taman rumah sakit. Tak peduli dengan mesin otomatis yang terus menggulirkan nomor antrean pasien.
Adica memainkan biolanya. Di ruang rawat VIP, Calvin bangkit pelan-pelan dari ranjang dan mulai memainkan grand piano. Intro mengalun merdu dari gesekan biola. Nada-nada indah berdenting oleh piano putih. Adica dan Calvin menyanyikan lagu yang sama, di tempat berbeda.
Kupejamkan mata ini
Mencoba tuk melupakan
Segala kenangan indah tentang dirimu
Tentang mimpiku
Semakin aku mencoba
Bayangmu semakin nyata
Merasuk hingga ke jiwa
Tuhan tolonglah diriku
Entah dimana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu... (Marcel-Hampa).
Hampa, sehampa hati Adica. Ia ke rumah sakit sendirian. Melihat potret ketidakadilan dimana-mana. Tak ada Abi Assegaf yang mendampingi. Perjalanan bisnis, seperti biasa.
** Â Â Â
Jarum suntik berkilat. Menusuk tajam ke lengan. Calvin kesakitan, namun sekuat mungkin menahannya. Kemoterapi dengan media suntikan sungguh menyakitkan. Sudah ada dua luka suntikan di lengannya. Luka itu mirip memar.
Luka, luka, luka. Itu yang dilihat Adica di mata para pasien. Pasien BPJS direndahkan, sebuah lagu lama. Terlihat seorang ibu paruh baya bersama anaknya digertak petugas loket karena berkasnya kurang lengkap. Pria tua berpakaian lusuh dilayani dengan ketus di loket sebelah. Perempuan muda diusir petugas karena berobat tanpa rujukan. Sepasang pasien kanker payudara mengeluh tentang dihapusnya Trastuzumab dari formalorium nasional. Adica makin tertekan. Ingin membantu, tapi tak bisa. Hatinya sedih luar biasa.
"Saya sedih, Calvin. Sedih karena harus meninggalkanmu. Saya tak bisa lama-lama, hari ini jadwal praktik dan konsultasi." Dokter Tian melangkah mundur.
Calvin merapatkan selimutnya. Sakit itu kini menyatu dengan rasa dingin. Obat-obatan telah tercampur dengan darahnya.
"Tidak apa-apa, Dokter Tian. Saya kuat...uruslah pasien yang lain." ujar Calvin pelan, namun meyakinkan.
"Tian, kamu hebat. Kamu masih mau menangani pasien BPJS, walaupun honornya kecil." Tuan Effendi dan Nyonya Rose memuji. Ditingkahi senyuman tipis dokter itu.
"Aku ini dokter, Effendi. Prinsipku, tidak boleh menolak pasien. Siapa pun mereka."
Seorang pasien miskin ditolak karena tak bisa membayar uang muka operasi sebesar 14 juta. Potret ketidakadilan terakhir yang sempat tertangkap matanya sebelum ia beranjak dari ruang tunggu. Pahit, pedih, menyakitkan. Adica melangkah lambat, kakinya serasa digantungi barbel.
"Papa...apa dunia kesehatan di negeri kita sekejam itu?" bisiknya, lirih sekali.
Jika Michael Wirawan masih hidup, takkan dibiarkannya anaknya mencicipi pahitnya sisi marginal pelayanan kesehatan. Sayangnya, Michael Wirawan telah pergi. Mau tak mau Adica teringat Abi Assegaf. Teringat pula ucapan motivasi Syifa untuk tidak boleh takut.
Ia percepat langkah sewaktu menyusuri koridor. Dilewatinya pintu poli demi poli. Poli bedah, poli mata, poli anak, dan...itu dia. Poli penyakit dalam. Seorang dokter pria berwajah baik menyambutnya hangat. Sekali pandang saja, Adica langsung merasa nyaman dengan dokter itu. Tepat ketika menyerahkan amplop berisi hasil tes, Adica batuk darah.
"Ya, Allah...Calvin, itu darah."
Calvin kembali terbatuk. Darah mengaliri sudut bibirnya. Hemoptisis, bukan hal baru lagi bagi surviver kanker darah.
Silvi mendekat, lembut menyeka sisa darah. Calvin menggenggam tangan gadisnya. Sakit ini, darah ini, tak sebanding dengan rasa bersalahnya karena telah menumpuk kecemasan di hati Silvi.
** Â Â
"Hasil pemeriksan menunjukkan..." Dokter Tian menggantung kalimatnya sejenak.
"Kamu menderita Granulomatosis Wegener. Gangguan sistemik, salah satu jenis radang pembuluh darah/vaskulitis. Ini kelainan langka, terdapat inflamasi di pembuluh darah paru-paru dan ginjalmu."
Puluhan tahun mengabdi, Dokter Tian hafal beragam ekspresi pasien kala vonis jatuh. Menangis adalah ekspresi paling mainstream. Berteriak, memprotes Tuhan, dan menyalahkan dokter adalah ekspresi lainnya yang tak kalah banyak. Namun kini, pasien tampan di depannya sangat tenang. Gurat ketegaran mendominasi wajahnya. Sungguh, tak tertangkap sebersit pun kesedihan.
"Awalnya saya hanya demam biasa, Dok. Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Adica dengan suara sedikit bergetar. Entah getar kecemasan, entah kesedihan.
"Gejala awal peradangan pembuluh darah biasanya begitu. Penyakitmu harus segera diobati. Dengan pemberian kortikosteroid, kemoterapi..."
"Kemoterapi? Bukankah kemo hanya untuk penderita kanker?"
"Tidak. Well, ini hanya sedikit yang tahu. Kemo bukan hanya untuk melawan sel kanker. Penyakit autoimun seperti Lupus, Rheumatoid Arthritis, dan vaskulitis juga dapat disembuhkan dengan terapi ini."
Bayangan menakutkan berkejaran di benak Adica. Jarum-jarum suntik, kulit terbakar, rambut yang berguguran, rasa mual yang menghebat...ya Allah, ujian apa lagi ini?
Sorot ketakutan di mata Adica terbaca radarnya. Dengan lembut, Dokter Tian menenangkan. Saat itulah ia menceritakan tentang Calvin. Pasien istimewanya yang sangat tegar. Malaikat tampan bermata sipit yang menghuni kamar rawat VIP, tapi masih sering turun tangan untuk mengasihi pasien kelas 2 dan 3. Laki-laki muda luar biasa, karena masih bisa menulis dan berbagi di tengah rasa sakitnya.
Mendengar nama Calvin, Adica familiar. Syifa pernah menyebut-nyebut temannya yang menderita leukemia. Mungkinkah teman Syifa dan pasien kesayangan Dokter Tian orang yang sama?
Sedikit kehangatan menjalari hati. Calvin saja bisa, bagaimana dirinya? Ia harus kuat.
Perintah rawat inap segera diturutinya. Tak mengapa bukan kamar VIP. Hanya kamar kelas tiga di sayap timur gedung rumah sakit. Sebuah ruangan berisi enam tempat tidur. Namun, hanya tiga bed yang terisi.
Kesan horor terasa begitu memasuki ruang rawat. Bagaimana tidak, ruangan itu dikotori sisa gumpalan darah. Tempat tidur pertama, yang paling dekat dengan pintu, diisi pasien lansia yang terus merintih tanpa henti. Tak ada yang menunggui. Tempat tidur lainnya ditempati sesosok remaja perempuan yang mengeluarkan bunyi aneh mirip dengkuran tiap kali menarik nafas.
"Ya, Allah, dia kenapa?" gumam Adica, bertanya-tanya. Sesekali melirik tubuh gadis itu yang dijejali kabel dan alat medis.
"In-coma. Habis operasi kanker otak. Orang tuanya tak ada biaya, tidak bisa naik kelas." sahut seorang perawat.
"Lalu...lansia itu kenapa?" tunjuk Adica ke arah ranjang pertama.
Penjelasan suster membuatnya bergidik. Malam ini, terpaksa ia harus tidur dikelilingi satu pasien in-coma dan satu pasien kelainan syaraf yang sudah sekarat. Tanda tanya hadir. Pernahkah Calvin mengunjungi dua pasien malang ini dan menebarkan kasih untuk mereka?
Takkan keberatan Adica melakukan itu. Sayangnya, dua pasien itu sama-sama kritis. Tak mungkin merespon dan menerima perhatian dalam bentuk apa pun. Praktis Adica hanya bisa mendoakan mereka.
Lembaran hari perlahan menutup. Malam membubung. Adica tak bisa tidur. Ia resah, mencemaskan dua pasien perempuan yang tak dikenalnya. Kondisi mereka sangat mengkhawatirkan.
Pukul sebelas malam, dengkuran aneh si remaja in-coma mendadak terhenti. Sunyi menyergap, mencekam ruangan. Ada apa ini? Dari celah antara pejam matanya, ia tatapi ranjang putih itu. Tubuh si pasien belia terbaring kaku. Tak nampak gerakan sekecil apa pun.
Selang beberapa menit, terjadi kegaduhan kecil. Dua orang suster dan satu dokter bergegas memasuki ruangan. Gugup mengecek kondisi pasien yang tak lagi bernyawa itu.
"Tolong catat waktu kematiannya." instruksi sang dokter.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." lirih Adica. Empati yang dalam membanjiri hati. Shock mengaduk-aduk perasaan. Ia baru saja melihat kematian lagi, tepat di depan matanya.
Walaupun tak tahu apa agama si gadis, Adica tetap mendoakannya. Mendoakan orang mati sangat mulia, apa pun agamanya. Diterima-tidaknya doa itu, biar Tuhan saja yang tentukan.
Ruangan kembali hening. Paramedis sibuk mengabari keluarga pasien. Jenazahnya telah ditutupi kain putih.
Tak sampai satu jam. Gelmbang shock kedua menghempas. Kali ini datangnya dari pasien lansia. Perempuan tua itu berteriak kesakitan lebih keras dari sebelumnya. Samar tertangkap kalimat tahlil. Malaikat maut sedang bekerja lagikah?
Detik-detik menakutkan itu tiba. Sejumlah tenaga medis kembali berlarian. Disusul helaan nafas berat perempuan itu. Terlihat tubuh si perempuan tua mengejang sesaat, lalu diam. Sempurna diam...dan kaku.
Dingin, dingin luar biasa menyesakkan dadanya. Ada dua kematian terjadi tepat di depan mata. Asumsinya salah. Di tengah malam yang melarut, pemuda tampan itu berbaring dikelilingi mayat-mayat. Takutkah dirinya? Tidak. Tegar, itulah yang coba dilakukannya.
Dinding ketegarannya merapuh. Lagi-lagi Adica teringat Abi Assegaf. Jika Abi Assegaf ada di sampingnya kini, beban kecemasannya akan lebih ringan. Abi Assegaf takkan membiarkannya terbaring dikelilingi dua mayat.
** Â Â Â
Bukan hanya Adica yang sulit tidur malam itu. Di kamar hotelnya yang mewah, Abi Assegaf berkali-kali gagal memejamkan mata. Hasratnya ingin segera ke bandara dan naik pesawat untuk kembali terpaksa ia tahan. Urusan bisnis itu belum selesai.
Pria berlesung pipi itu gelisah. Dia mengkhawatirkan seseorang. Seseorang yang sakit, yang mungkin butuh dirinya.
"Tidurlah Abi. Kalau semua urusan sudah selesai, Abi kan bisa pulang." Syifa mengingatkan saat mereka FaceTime setengah jam lalu.
"Aku tidak bisa tidur..." Calvin berkata putus asa, meremas tangan Tuan Effendi.
"What's the matter with you, Dear?"
Calvin tak menjawab. Ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Sejak tadi, perasaannya tidak enak. Firasat di hati kecilnya membisikkan kabar buruk.
"Tidurlah, Sayang. Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Di sini ada Mama, ada Papa..." pinta Nyonya Rose.
"Ada aku." Revan menyela.
"Ada aku juga."
Silvi membungkuk, mencium pipi Calvin. Lihatlah, semua orang yang ia cintai berkumpul di dekatnya. Untuk apa khawatir?
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H