Calvin kembali terbatuk. Darah mengaliri sudut bibirnya. Hemoptisis, bukan hal baru lagi bagi surviver kanker darah.
Silvi mendekat, lembut menyeka sisa darah. Calvin menggenggam tangan gadisnya. Sakit ini, darah ini, tak sebanding dengan rasa bersalahnya karena telah menumpuk kecemasan di hati Silvi.
** Â Â
"Hasil pemeriksan menunjukkan..." Dokter Tian menggantung kalimatnya sejenak.
"Kamu menderita Granulomatosis Wegener. Gangguan sistemik, salah satu jenis radang pembuluh darah/vaskulitis. Ini kelainan langka, terdapat inflamasi di pembuluh darah paru-paru dan ginjalmu."
Puluhan tahun mengabdi, Dokter Tian hafal beragam ekspresi pasien kala vonis jatuh. Menangis adalah ekspresi paling mainstream. Berteriak, memprotes Tuhan, dan menyalahkan dokter adalah ekspresi lainnya yang tak kalah banyak. Namun kini, pasien tampan di depannya sangat tenang. Gurat ketegaran mendominasi wajahnya. Sungguh, tak tertangkap sebersit pun kesedihan.
"Awalnya saya hanya demam biasa, Dok. Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Adica dengan suara sedikit bergetar. Entah getar kecemasan, entah kesedihan.
"Gejala awal peradangan pembuluh darah biasanya begitu. Penyakitmu harus segera diobati. Dengan pemberian kortikosteroid, kemoterapi..."
"Kemoterapi? Bukankah kemo hanya untuk penderita kanker?"
"Tidak. Well, ini hanya sedikit yang tahu. Kemo bukan hanya untuk melawan sel kanker. Penyakit autoimun seperti Lupus, Rheumatoid Arthritis, dan vaskulitis juga dapat disembuhkan dengan terapi ini."
Bayangan menakutkan berkejaran di benak Adica. Jarum-jarum suntik, kulit terbakar, rambut yang berguguran, rasa mual yang menghebat...ya Allah, ujian apa lagi ini?