Pukul sebelas malam, dengkuran aneh si remaja in-coma mendadak terhenti. Sunyi menyergap, mencekam ruangan. Ada apa ini? Dari celah antara pejam matanya, ia tatapi ranjang putih itu. Tubuh si pasien belia terbaring kaku. Tak nampak gerakan sekecil apa pun.
Selang beberapa menit, terjadi kegaduhan kecil. Dua orang suster dan satu dokter bergegas memasuki ruangan. Gugup mengecek kondisi pasien yang tak lagi bernyawa itu.
"Tolong catat waktu kematiannya." instruksi sang dokter.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." lirih Adica. Empati yang dalam membanjiri hati. Shock mengaduk-aduk perasaan. Ia baru saja melihat kematian lagi, tepat di depan matanya.
Walaupun tak tahu apa agama si gadis, Adica tetap mendoakannya. Mendoakan orang mati sangat mulia, apa pun agamanya. Diterima-tidaknya doa itu, biar Tuhan saja yang tentukan.
Ruangan kembali hening. Paramedis sibuk mengabari keluarga pasien. Jenazahnya telah ditutupi kain putih.
Tak sampai satu jam. Gelmbang shock kedua menghempas. Kali ini datangnya dari pasien lansia. Perempuan tua itu berteriak kesakitan lebih keras dari sebelumnya. Samar tertangkap kalimat tahlil. Malaikat maut sedang bekerja lagikah?
Detik-detik menakutkan itu tiba. Sejumlah tenaga medis kembali berlarian. Disusul helaan nafas berat perempuan itu. Terlihat tubuh si perempuan tua mengejang sesaat, lalu diam. Sempurna diam...dan kaku.
Dingin, dingin luar biasa menyesakkan dadanya. Ada dua kematian terjadi tepat di depan mata. Asumsinya salah. Di tengah malam yang melarut, pemuda tampan itu berbaring dikelilingi mayat-mayat. Takutkah dirinya? Tidak. Tegar, itulah yang coba dilakukannya.
Dinding ketegarannya merapuh. Lagi-lagi Adica teringat Abi Assegaf. Jika Abi Assegaf ada di sampingnya kini, beban kecemasannya akan lebih ringan. Abi Assegaf takkan membiarkannya terbaring dikelilingi dua mayat.
** Â Â Â