"Sesekali kau harus rasakan kencan sederhana, Silvi. Tanpa mobil. Mungkin lebih romantis."
"Kalau aku mati kecelakaan, kau harus berani jelaskan pada suamiku."
"Tenang saja. Palingan nanti malaikatmu ikut mati juga karena sakit dan kesedihan."
Kian cepat sepeda meluncur. Silvi berpegangan erat, ekspresi wajahnya ketakutan. Adica sangat puas melihatnya. Sudah lama dia tak begini. Lama tak ada lagi wanita yang bergantung padanya, mencari perlindungan darinya. Semuanya berubah sejak istrinya meninggal.
Denting gerimis berubah menjadi rinai hujan. Di bawah derasnya hujan, mereka sangat menikmati momen manis itu. Adica benar. Dating sederhana, tanpa mobil dan kemewahan. Tak kalah berkesan.
Seperti anak kecil, Adica dan Silvi bermain hujan-hujanan. Makan roti bakar Thailand di bawah hujan. Merekam tiap momen dengan excited. Ini hanyalah awal, sebelum memulai yang sebenarnya.
Entah apa kata orang-orang di sekitar mereka. Mungkin mereka disangka childish. Biarlah, biarlah orang melabeli. Siapa peduli?
"Hmmm, apa reaksi malaikatmu ya, kalau dia lihat kita begini?" Adica bertanya-tanya, satu tangannya mengusap lelehan selai di sudut bibir Silvi.
** Â Â
Rush biru gelap itu menepi di depan rumah kecil bercat hijau toska. Revan dan Calisa turun dari mobil. Terlihat Calisa menyibukkan diri membuka pagar.
"Serius...rumahmu jauh sekali, Calisa." komentar Revan. Tubuhnya lelah, tapi hatinya senang.